#senyum_sikembar
.
Suka Duka Bersaudara Kembar Part 1
.
Oleh: Yumna Umm Nusaybah
(Member Revowriter London)
.
“Mengko lek ngekos, lek arep tuku barang anyar, tuku sing podho loh yo! Ben ora iri-irian”
.
Kurang lebih artinya, nanti kalau sudah nge-kos, kalau mau membeli barang baru, beli yang sama ya. Supaya nggak saling iri satu sama lain.
.
Demikian petuah Ibu yang lebih terbiasa aku panggil Mami (Allah Yarhamu) sebelum kami beranjak SMA dan ngekos sekamar berdua.
.
“Nggih, Mi” jawabku dan saudara kembarku.
.
Syeelaahlu Syamaaa! (Ngomongnya sambil mode dangdutan: On)
.
Itulah prinsip Mami. Karena kami kembar, maka semuanya harus sama. Supaya masing-masing tidak merasa lebih disayang apalagi dinomorduakan. Bahkan mami berharap kami bisa sama sama jadi dokter, menikah di hari yang sama. Lah padahal sekuat apapun kita inginkan, jika Allah tidak berkehendak, mana bisa? Namun doa Ibu memang mustajab. Semua harapan beliau pada akhirnya terwujud persis seperti impiannya.
.
Sejak kecil, lemari kami penuh baju dengan warna, model, ukuran yang sama. Hanya saja dobel jumlahnya. Anehnya. Kami pun oke-oke dan setuju saja memakai baju yang sama. Bahkan persis dari atas sampai ujung bawah termasuk kaos kaki dan sepatu.
.
Mami semakin meyakinkan kami karena setiap waktu mengulang kalimat bahwa kami berdua istimewa. Mengingat tidak banyak anak kembar yang bisa selalu bersama, rukun dan menjadi saudara sekaligus teman setia. Saat itu aku puas dengan arahan orang dua. Aku terima apa adanya. Toh nggak dilarang dan nggak ada mudaratnya. Ini berlangsung sejak kanak-kanak hingga kami berusia 21 tahun. Bahkan sampai kami lulus Sarjana.
.
Sampai suatu ketika...
Kami diterima di fakultas kedokteran yang sama. Di tahun yang sama. Di Universitas yang sama. Dengan Nomer induk mahasiswa berurutan. Nggak heran kalau koas pun kami senantiasa bersama. Di Laboratorium yang sama. Jaga malam hampir selalu bersamaan juga. Sampai teman-teman pun tidak lagi membedakan kami berdua. Mereka memanggil kami dengan sebutan si kembar. Saking capek dan puyeng jika harus memisahkan dan membedakan kali ya?
.
Pagi itu kami berdua bertugas di departemen Ilmu Kesehatan Anak (bangsal Pediatri). Para Dokter Muda diminta memilih satu pasien untuk dijadikan bahan studi kasus.
.
Aku putuskan mengambil kasus Kejang demam (kalau ga salah ingatan). Segera aku datangi ibu dari anak yang sakit. Aku anamnesis secukupnya. Aku catat dan ku ambil semua hasil lab dan data-data yang aku butuhkan.
.
Beberapa menit berikutnya. Aku mendengar suara teriakan dan membentak. Aku lihat saudara kembarku ada di hadapan perempuan yang sama.
.
Sambil menaikkan nada bicara si ibu bilang ke kembaranku, “Mbak DM (panggilan untuk Dokter Muda) ini gimana?! Tadi kan sudah kesini ketemu saya! Sudah nanya ini itu. Saya jawab sebisa dan selengkapnya. Nah, Sekarang balik lagi kesini!! Bertanya dengan pertanyaan yang sama. Lah emang tadi nggak di catat apa!? Buang buang waktu saya saja! Anak saya sakit, saya pusing mikirin anak. nggak bisa tidur semalaman eh malah Mba DMnya nambah pusing saya. Sudah sudah, saya nggak mau ditanya-tanya lagi.”
Ya Allah!
Si Ibu marah-marah sama saudara kembarku karena sang ibu berfikir kami adalah orang yang sama!
.
Duh kasihan juga Mba DM-nya. Jadi korban baju kembar. 🙂
.
Kami mengira berpakaian sama persis dan menunjukkan bahwa kami kembar itu istimewa tapi ternyata malah jadi malapetaka.
.
Yang menarik, bukan aku yang menjadi korbannya. Selalunya Umm Adam yang kena getah dari kesalahan DM kembar satunya.
.
Semoga kisah nyata di atas bisa memberi seulas senyum kepada para pembaca yang sudah setia.
.
London, 7 Januari 2020
#OPEy2020bersamaRevowriter
#Revowriter
#KompakNulis
#KisahDariInggris
#GeMesDa
#OnePostEveryday
#MutiaraUmmat
#GoresanYumna
Comments