#ParentingTips
.
Stick To Your Gun
.
Oleh: Yumna Umm Nusaybah
(Member Revowriter London)
.
“Mama, we will have residential trip in June. All year 5 children will spend the weekend away in a shared accommodation. Will you allow me to go?” Tanya Nusaybah minggu lalu. Dia ingin ikut trip sekolah dimana semua anak akan menginap di akomodasi yang sama. Siswa dan siswi memang akan terpisah. Tapi namanya orang tua. Rasa khawatir pasti ada. Apalagi tahun lalu, kami mendengar kabar yang tak sedap. Semua peserta terkena diare akibat keracunan makanan.
.
Aku tahu sendiri ada wali murid yang tidak memberi izin anaknya untuk menginap tanpa mereka. Walhasil, sekolah memberi ijin bagi orang tua yang ingin mendampingi anaknya.
.
Apakah ortu yang begitu khawatir dan ‘attach’ dengan anaknya berarti keliru? Tidak juga! Karena setiap keluarga memiliki BATASAN alias BOUNDARY yang berbeda.
.
Yang terpenting adalah, anak mengerti dan tahu batasan dari orang tua. Mengkomunikasikan batasan kepada anak sungguh tidak gampang. Yang sering terjadi justru sebuah pertentangan. Butuh kesabaran untuk terus mensosialiasikan. Butuh negosiasi yang menakjubkan. Butuh kekuatan para orang tua untuk STICK TO THEIR GUNS.
.
Ada sebuah nasehat, Teaching the child to treat boundaries seriously teaches the child to respect the rights and needs of others. Thinking of another's needs, creates empathy.
.
Mengajari anak untuk serius memperhatikan batasan akan mengajari mereka menghargai hak dan kebutuhan orang lain. Mau mempertimbangkan kebutuhan orang lain akan mengajarkan mereka empati.
.
Yang justru mengkhawatirkan adalah ketika anak tidak tahu bahwa ada aturan main dalam menjalani kehidupan. Misalkan, cara berpakaian, aturan di meja makan, aturan bahwa mereka tidak boleh berkata kasar, memukul, mem-bully, meninggikan suara kepada orang tua, berbohong, ogah-ogahan membantu keluarga, malas-malasan solat, meninggalkan adab, berbuat se-enaknya di depan umum dan lain sebagainya.
.
Berapa kali kita mendengar orang tua mengeluh, “Duh, anak saya kok nggak mau mendengarkan?” Atau “Nih anak, sudah berkali kali dikasih tahu tetap saja mengabaikan” atau “Gimana ya supaya anak saya tidak membuat malu di depan banyak orang?”
.
Sebelum menyalahkan anak, sebagai orang tua perlu lah kita mempertanyakan. Apa yang membuat si anak berbuat demikian?
.
Ketika orang tua menyebut anaknya ‘nakal’ atau misbehave, yang sebenarnya terjadi adalah: sang anak TIDAK berperilaku sesuai dengan harapan orang tua. Padahal bisa jadi si anak belum tahu apa yang orang tua harapkan. Batasan seperti apa yang ortu inginkan. Bisa jadi ortu belum mengkomunikasikan harapan dan aturan main di dalam dan diluar rumah.
.
Jadi apa yang perlu dilakukan?
.
.
1. Set the boundaries
.
Jelaskan “house rule’ kepada anak-anak kita. Kalau perlu bikin daftar, taruh di frame, gantung di ruang keluarga. Ingatkan mereka dengan aturan dasar. Jangan bosan mengulang-ulangnya. Aturan ini harus masuk akal. Sebisa mungkin kurang dari 10. Setiap minggu bisa diubah dan ditambah. Yang penting jangan terlalu membebani. Misalkan, setelah makan harus meletakkan piring di tempat cucian. Jika menumpahkan sesuatu harus mau membersihkan. Setelah bermain harus bersedia merapikan. Berbicara dengan sopan. Tidak memukul. Dan lain sebagainya. Tentunya ada aturan yang kadang ikut budaya setempat. Dan ada aturan yang murni ajaran syariat. Keduanya perlu dikombinasikan. Jika berbenturan maka syariat yang dikedepankan.
.
.
2. Beri konsekuensi jika tidak taat aturan.
.
Saat anak melanggar house rule. Ingatkan mereka untuk berhenti melakukannya. Beri peringatan 3 kali. Jika tetap masih melakukan dalam jangka waktu singkat maka setelah peringatan ketiga, beri mereka konsekuensi. Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan ‘thinking corner’ alias Pojok Pikir. Disitu mereka di beri waktu untuk diam. Lamanya bergantung dari usia. Jika 3 tahun maka biarkan mereka memikirkan selama 3 menit apa yang sudah dilakukan. Nggak perlu teriak ketika mengingatkan. Usahakan untuk jongkok, sehingga mata mereka selevel dengan mata kita. Sampaikan kenapa dia harus ke thinking corner. Jelaskan, “Adek sudah tahu jika kita tidak boleh memukul. Tiga kali sudah Mama peringatkan untuk tidak memukul, tapi Adek tetap memukul. Sekarang silahkan ke thinking corner untuk memikirkan apa yang sudah Adek lakukan.”
.
Dengan adanya konsekuensi maka anak akan belajar bahwa batasan itu harus di taati dan di perhatikan.
.
.
3. Tak perlu merasa bersalah dan takut di benci ananda.
.
Ibu yang ragu memberi anak konsekuensi atau ‘hukuman’ memilkki beberapa alasan.
Diantaranya:
.
.
- Dalih,”Namanya juga anak-anak. Wajar kalau nakal.” Label nakal sebenarnya tidak perlu muncul dan tersampaikan ke anak. Karena ucapan ‘nakal’ jika diulang-ulang adalah doa dan bisa menjadi kenyataan. Anak tetaplah anak. Sebagai ortu, kita tidak boleh berharap mereka selalu benar. Berbuat kesalahan adalah bagian dari pembelajaran. Yang terpenting, jika ada perilaku tidak benar, luruskan! Tunjukkan mana hal yang tidak boleh dan tidak benar. Jika anak dibiarkan tanpa batasan maka mereka akan menganggap apapun boleh dilakukan. Jangan heran jika mereka besar, mereka tidak bisa ikut aturan. Bisa jadi saat mereka berkarier pun, melanggar banyak aturan.
.
.
- Alasan kedua yang umum, si ibu takut sang anak membencinya jika banyak melarang dan meluruskan mereka . Wahai ibunda. Tak perlu risau. Justru jika anak dibiarkan liar. Suatu saat akan menjadi bumerang. Mereka akan menuntut semua tersedia didepan mata. Tak bisa mentolerir kata ‘tidak’ karena memang tidak pernah ditolak. The world has to revolve around them. Tak masalah jika sekali-kali ibu menunjukkan tanduknya. Karena ada calon suami, calon isteri, calon bos, calon pekerja, calon menantu, calon pemimpin dan pengemban Islam yang sedang kita bina. Kita para ibu harus kuat mental. Tak perlu merasa ‘insecure’ dan merasa anak tidak akan sayang. Asal ada keseimbangan antara memuji hal baik dan mendisiplinkan. Jelaskan dan yakinkan pada anak bahwa yang kita tidak setujui adalah sikapnya dan bukan dirinya. Jangan pelit pujian saat mereka baik. Jangan pula hanya memberi komentar dan perhatian saat mereka misbehave. Sampaikan kepada si anak, “I love you but I don’t love the behaviour!”
.
.
4. Stick to your gun
.
Ada kalanya anak merengek supaya dibebaskan dari ‘hukuman’ setelah misbehave. Tetap lakukan apa yang menjadi standar di keseharian. Kondisi lain yang menyulitkan ortu mendisiplinkan adalah saat di luar rumah atau ditempat umum. Anak sangatlah pintar! Mereka bisa menangkap orang tua yang ‘grogi’ dan ‘takut’ mendisiplinkan mereka di depan banyak orang. Walhasil, ketika si anak misbehave, orang tua membiarkan karena malu sama sekitar. Akibatnya anak akan menangkap signal bahwa displin hanya ada di rumah. Yakni saat tak ada orang. Saat sendirian. Padahal aturan tetap aturan. Sampaikan dan ingatkan mereka, jika tidak taat pada perjanjian maka sampai rumah mereka akan mendapat apa yang seharusnya mereka terima (duduk di thinking corner). Awas loh ya..Sampai rumah jangan sampai lupa. Dengan begini maka otoritas orang tua akan terjaga. Bukan..ini bukan karena kita ingin anak takut pada ortunya. Tapi ini mengajari mereka bahwa setiap perbuatan akan membawa impact. Entah kepada dia atau orang di sekitarnya.
.
Selamat mencoba!
.
London, 26 Januari 2020
.
NB: ditulis pukul 6 sore waktu Inggris. Tapi sudah masuk tanggal 27 Januari di Indonesia.
.
#OPEy2020bersamaRevowriter
#Revowriter
#KompakNulis
#GeMesDa
#OnePostEveryday
#MutiaraUmmat
#goresanyumna
Comments