#RamadhanBersamaPelitaRevowriter
#PelitaRevowriter
#challengeday23
#Post16
#RamadanDay14
.
Ramadan dan Pembebasan
.
Oleh: Yumna Umm Nusaybah
(Member of Revowriter London)
.
Masih tentang kemaafan. Pernah mendengar ungkapan, “forgive and forget”?
.
Sebuah nasehat yang mengajarkan bahwa standar kita memaafkan seseorang adalah melupakan kejadian itu dan kembali ‘normal’ seperti sedia kala. Aku kurang setuju dengan ungkapan ini. Karena jika memaafkan diukur dengan standar melupakan maka tak banyak orang yang mampu melakukanya. Sudah menjadi tabiat manusia untuk mengingat kejadian yang berarti dalam hidupnya. Entah itu kejadian baik ataupun buruk. Cara ini sebenarnya efektif sebagai penunjuk kapan kita harus memasang kuda-kuda supaya tak tersakiti oleh hal dan orang yang sama. Dengan mengingat, kita bisa mengambil pelajaran untuk selanjutnya memahami tanda-tanda awal dari apa dan siapa yang nantinya berpotensi menyakiti kita. Contoh, jika kita mudah tersakiti oleh orang yang blak-blak-an maka saat pertama kali bertemu dengan orang model demikian, sebisa mungkin kita siap-siap. Siap-siap untuk menghindar. Siap-siap untuk memberi ‘excuse’ atau dalih. Kita sampaikan ke diri kita bahwa apapun yang keluar dari mulutnya tak semuanya harus di analisa, dianggap menyerang kita atau dianggap serius dan datang dari hatinya. Dengan self-talk seperti ini maka hati akan bisa terjaga.
.
Jadi apa sebenarnya makna memaafkan? Apakah memaafkan berarti melupakan? Apakah memaafkan berarti menghindar? Memaafkan berarti tak lagi berteman? Memaafkan berarti terus memberi dalih atas kesalahan orang? Atau memaafkan justru merekatkan jalinan? Kapan bisa dikatakan seseorang itu memaafkan? Penting sekali untuk tahu standar secara detail karena selama ini yang kita dengar hanya, ikhlaskan, maafkan, sudah lah move on. Lah mudah saja bagi yang memberi nasehat, tapi tidak bagi yang tersakiti. Mereka harus diberi kesempatan untuk memahami kapan dan titik apa bisa dianggap TELAH memaafkan.
.
Definisi memaafkan ternyata banyak versinya. Psikolog umumnya mendefinisikan forgiveness atau kemaafan sebagai keputusan untuk melepaskan perasaan dendam terhadap seseorang atau kelompok yang telah melukai kita, terlepas apakah mereka benar-benar layak mendapatkan kemaafan ataukah tidak.
.
Karenanya, sebenarnya memaafkan bukanlah untuk orang yang telah melukai kita tapi memaafkan lebih untuk membebaskan diri kita sendiri dari belenggu sakit hati, kebencian dan dendam. Memaafkan adalah untuk kebaikan kita sendiri.
.
Sulitnya memaafkan biasanya terjadi karena beberapa hal:
.
1. Anggapan bahwa jika kita memaafkan orang yang sudah menyakiti berarti kita-lah yang salah dan mereka lah yang benar. Kita yang mengalah berarti kita lah yang lemah. Anggapan ini perlu diluruskan. Benar tidaknya sebuah realita tidak ada hubungannya dengan kemaafan. Sejatinya, memaafkan adalah antara kita dengan hati kita sendiri. Berdamai dengan perasaan marah dan kecewa yang kita miliki. Memaafkan berarti kita melepaskan rasa-rasa negatif itu. Apa dan siapa di luar sana tak ada yang tahu. Hanya Allah dan diri kita saja yang mampu merasakan dan melalui proses ini.
.
.
2. Anggapan bahwa jika kita memaafkan berarti kita mentolerir kesalahan mereka. Misalkan, pengkhinatan seorang pasangan atau teman. Jika kita memaafkan mereka jangan-jangan mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ke kita oke oke saja. Padahal tidaklah demikian adanya. Memaafkan harus diiringi dengan penjelasan dimana duduk persoalannya, sehingga kita dan mereka bisa belajar dari kesalahan yang ada. Bisa jadi ada salah faham. Jika sudah jelas letak kesalahannya dan masing-masing mengakuinya maka proses memaafkan akan lebih mudah.
.
.
3. Anggapan bahwa dengan memaafkan berarti hubungan kita harus kembali seperti semula. Padahal tak ada jaminan si orang yang menyakiti kita berubah juga. Sebenarnya ini semua tergantung dari tipe orang dan skala kesalahannya saja. Jika kita sendiri mensyaratkan bahwa memaafkan berarti harus kembali padahal diri ini sudah muak sekali maka proses memaafkan pun akan terhenti. Kembali seperti semula bukanlah syarat memaafkan. Keduanya hal yang terpisah. Memaafkan adalah aktivitas hati. Sedang berhaha hihi dengan orang yang telah menyakiti adalah lain perkara. Memaafkan adalah untuk berdamai dengan keadaan supaya bisa move on ke hal berikutnya. Seperti tulisanku sebelumnya, jika yang berbuat salah adalah orang tipe polosan atau blak-blakan maka bisa jadi kesalahan itu tidak disengaja.
Lalu bagaimana kita bisa memaafkan?
.
1. Beri mereka excuse. Mencoba melihat situasi mereka. Perselisihan dan pertengkaran selalu butuh dua orang. Masing-masing pasti berperan. Kecil ataupun besar. Tak melulu salah satu orang saja. Dengan berfikir demikian maka proses memaafkan akan lebih mudah dan ringan.
.
.
2. Yakinlah bahwa kekuatan seseorang tidak terletak pada ototnya tapi kemampuan dia berbesar hati dengan menerima bahwa sakit hati bagian dari Qadha Allah untuk mendewasakan kita.
.
.
3. Beri waktu dan ruang untuk berproses. Tak apa sedikit lama asal kita berjalan menuju kemaafan. Waktu kadang membantu menyembuhkan. Layaknya sebuah luka, setelah sebulan luka itu tak lagi menganga. Scar/ tanda luka mungkin ada dan terlihat jelas oleh mata, menjadi pengingat bahwa kita pernah terluka tapi sungguh jika PERIHNYA sakit itu tidak terasa maka sebenarnya hati kita sudah menerima dan memaafkannya.
.
.
4. Kadang mencoba melupakan bisa membantu dalam proses memaafkan. Tak perlu lah kita mengungkit-ungkit kesalahan. Tak perlu juga hidup dalam bayang-bayang masa silam. Tutup edisi menyakitkan itu, kunci rapat rapat. Tak perlu menyebutkannya dan menceritakannya setiap saat karena itu layaknya mengubek-ubek luka yang sudah mulai sembuh. Jadilah semakin dalam lukanya.
.
.
5. Yakinkan diri bahwa memaafkan bukan berarti bersedia menerima sebuah pengkhinatan dan penindasan. Mentolerir kedzoliman. Tidak! Masalah harus di lselesaikan tapi hati bebas dari rasa ingin balas dendam. Atau bahagia jika yang menyakiti kita menderita. Itu artinya kita ingin balas dendam. Tak ada yang diuntungkan dari balas dendam. Keduanya menderita. Si pelaku dan si penerima.
.
Kesimpulan
.
Kemaafan BUKAN berarti bahwa apa yang sudah terjadi oke oke saja! Kemaafan tidak berarti kita menerima kembali orang yang telah menyakiti kita. Memaafkan adalah upaya kita menerima apa yang terjadi. Kemaafan berarti kita let it go. Kemaafan bisa jadi mencintai dari kejauhan. Kemaafan bermakna menyambut masa depan dan tak hidup di masa silam.
.
Kemaafan yang sempurna telah Rasulullah ﷺ contohkan dalam sirahnya ﷺ
.
‘Aisyah Radhiyallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ
.
: هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ عَلَيْكَ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ قَالَ لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا “
.
Apakah pernah datang kepadamu (Anda pernah mengalami-Pen.) satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril q , lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.” [1] Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].
Jawaban Rasulullah menunjukkan betapa positive outlook yang beliau miliki menjadi sumber kemaafan.
.
So forgive others to free yourself ...
.
London, 10 Mei 2020
Ditulis di hari ke-17 Ramadan
.
#GoresanYumna
#Revowriter
#KompakNulis
#GeMesDa
#Covid19
Comments