#RamadhanBersamaPelitaRevowriter
#PelitaRevowriter
#challengeday16
#Post9
#RamadanDay7
.
Ramadan dan Keimanan
.
Oleh: Yumna Umm Nusaybah
(Member of Revowriter London)
.
Tahun ini adalah Ramadan ke-16 ku di Inggris. Pertama kali tak bisa merasakan Ramadan di negeri sendiri benar benar mengiris hati. Untungnya, aku hidup di tengah komunitas muslim terbesar di London. Rasa itu bisa tergantikan dengan kesibukan Ramadan bersama teman. Namun satu hal yang tetap tak bisa tergantikan adalah merayakan Eid bersama keluarga besar. Sebelum anak-anak lahir dan sebelum anak-anak mulai sekolah, aku selalu mengupayakan pulang saat hari raya. Karena kebersamaan dan kebiasaan Indonesia tak pernah bisa tergantikan oleh apapun juga. Sayangnya, tahun 2013 yang lalu adalah saat terakhir aku bisa ber-Idul fitri bersama keluarga. Tahun ini pun tak ada bedanya!
.
Namun bagi saudara kembarku, kakak laki-laki dan Kakak perempuanku, hari raya adalah suka cita. Mereka selalu berkumpul bersama. Sowan ke bapak dan Abah (paman yang sudah aku anggap seperti ayah) di tiap tahunnya. Aku hanya bisa Video Call sambil menitikkan airmata. Harapku bisa bersama mereka dan bercanda ria. Apa daya, jarak yang jauh, besarnya biaya, pendeknya liburan, tak mengijinkan kami bersama.
.
Tahun ini? SubhanAllah! Akan banyak orang Indonesia merasakan apa yang biasanya aku rasakan di setiap hari raya. Bukan bukan aku bahagia karena mereka merasakannya. Tapi kadang kita tak mengerti arti suatu hal jika Allah سبØانه Ùˆ تعالى tak pernah mencabutnya.
.
Kita tak akan faham enaknya makan jika tak pernah kena sariawan atau sakit gigi langganan.
Kita tak akan mengerti nikmatnya sehat jika tak pernah sakit kronik tahunan.
Kita ’take for granted’ indahnya kebersamaan di hari raya sampai akhirnya virus corona datang menyapa.
Social distancing dan upaya untuk mengurangi penyebaran infeksi kini membatasi ruang gerak kita.
.
Demikian juga iman dan Islam! Jangan sampai kita ‘take for granted’ nikmat yang satu ini.
Banyak dari kita menjadi muslim karena warisan. Kita beruntung hadir di keluarga muslim yang mengajarkan iman dan Islam. Mengajari kita bacaan Quran. Tata krama, akhlak, sejarah kenabian. Bahkan kemampuan, kemauan dan semangat untuk bisa sholat lima waktu pun kita anggap biasa. Melafalkan doa-doa berbahasa Arab tanpa kendala. Kemampuan kita memproses sebuah musibah. Menerima dan bersabar menghadapinya. Memahami bahwa virus corona adalah ujian semata. Meyakini Islam solusi atas seluruh permasalahan manusia. Semuanya terkesan biasa saja. Padahal itu adalah karunia terbesar dari Sang Maha Pencipta.
.
Saat aku berada di tengah-tengah kekufuran. Nikmat iman itu begitu terasa. Di saat semua orang memilih alkohol dan foya foya sebagai pilihan. Diperbudak pekerjaan, uang, status, tahta dan segala macam keinginan. Kami muslim mengambil pilihan lain. Menjauhi hal yang umumnya di sukai. Menahan lapar dan dahaga 17 jam lamanya. Tak ada petir menyambar jika saja muslim tadi memutuskan berbuka sebelum waktunya. Tapi semua ikhlas menahan rasa lapar dan dahaga demi menunjukkan bukti penghambaan kepada Rabbnya. Kalau ini tidaklah spesial, entah apa namanya.
.
Iman lah yang membuat kita mengerti tujuan hidup yang sebenarnya. Namun sungguh, kita tak ingin Allah سبØانه Ùˆ تعالى mengambil nikmat iman itu hanya supaya kita tahu maknanya seandainya iman itu tak ada.
.
17 rakaat kita solat. Minimal 17 kali kita meminta kepada Allah سبØانه Ùˆ تعالى untuk ditunjukkan jalan yang lurus
اهْدِÙ†َا الصِّرَاطَ الْÙ…ُسْتَÙ‚ِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6).
.
Saat Allah سبØانه Ùˆ تعالى sudah menunjukkan jalan itu, sudahkah kita bergegas menyambutnya? Atau kita santai santai saja karena layaknya hari raya. Setiap tahunnya, kita begitu yakin akan berkumpul dengan keluarga. Tapi tahun ini bertolak belakang dengan harapan kita. Akankah kita merasa Iman itu akan selalu bersama kita tanpa kita pupuk dan pegang dengan erat melalui jalan taat?
.
Kita tak pernah tahu akhir kematian seseorang. Apakah iman itu akan tetap tertancap kuat di dalam dada? Atau sudah lepas SEBELUM nyawa terpisah dari raga? Naudzubillahi min dzalik! Karenanya kita selalu memohon agar Allah سبØانه Ùˆ تعالى selalu menjaga Iman kita. Menyayangi kita dengan menunjuki jalan Islam, senantiasa!
Doa saja tak cukup. Kalaulah cukup tentu Rasulullah ï·º tak akan berdakwah, cukup mendoakan orang supaya masuk Islam. Kalau cukup, Beliau pun ï·º tak akan repot-repot maju ke Medan perang. Nyatanya, beliau berhijrah, berdakwah, mengundang petinggi Quraisy mendengar ayat-ayat Allah سبØانه Ùˆ تعالى dibacakan, menghadapi boikot, penyiksaan, propaganda, fitnah keji dan semua demi mengajarkan manusia keimanan. Dan upaya Rasulullah ï·º yang beliau lakukan 1400 tahun yang lalu bisa kita petik dan rasakan.
.
Allah سبØانه Ùˆ تعالى berfirman dalam Quran Surah Ali Imrah: 102
.
ÙŠَٰٓØ£َÙŠُّÙ‡َا ٱلَّØ°ِينَ Ø¡َامَÙ†ُوا۟ ٱتَّÙ‚ُوا۟ ٱللَّÙ‡َ ØَÙ‚َّ تُÙ‚َاتِÙ‡ِÛ¦ ÙˆَÙ„َا تَÙ…ُوتُÙ†َّ Ø¥ِÙ„َّا ÙˆَØ£َنتُÙ… Ù…ُّسْÙ„ِÙ…ُونَ
.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
.
Artinya ada kemungkinan manusia memilih meninggal dalam keadaan tidak beriman. Iman adalah amal hati. Berupa keyakinan. Namun iman butuh pembuktian. Tak hanya di bibir saja. Pembuktian itu ada dalam bentuk perbuatan. Menyandarkan segala amal dengan ketentuan Islam. Halal haram sebagai landasan segala aspek kehidupan.
.
Mari kita jadikan Ramadan ini momentum perubahan. Bersyukur atas iman dan Islam dengan menjalankan ketaatan terhadap perintah Sang Rahman.
.
London, 1st May 2020
Ditulis di hari ke-8 Ramadan
.
#GoresanYumna
#Revowriter
#KompakNulis
#GeMesDa
#Covid19
Comments