#OPEy2021Day06
.
Tipping Point
.
oleh Yumna Umm Nusaybah
(Member of Revowriter London dan Co-founder Dokter Kembar)
.
Tiga hari yang lalu, aku mengikuti acara Mental Health Summit 2021 yang diselenggarakan oleh Muslim Student Association (MSA) yang digawangi oleh anak-anak muda di Amerika dan Kanada. Alasanku ikut adalah karena topik dan pembicaranya yang sangat kompeten di bidangnya. Salah satu pembicara dari Inggris adalah seorang Mufti muda dari London. Sheikh Moinul Abū Hamza (isteri beliau Nasima Umm Hamza adalah temanku). Mereka mendirikan banyak organisasi di London timur, salah satunya adalah Al Madaad outreach yang fokus pada konseling pernikahan, konflik keluarga dan kesehatan mental. Ada satu hal yang sangat berkesan dari penyampaian beliau. Sheikh Moinul menjelaskan bahwa kadang kita cepat sekali menilai seseorang yang sepintas berlaku ‘judes’ dan ‘beringas’ kepada kita. Sebagai seorang muslim, mencari pembenaran (excuse) untuk saudara kita dan menghindari berfikir negatif seharusnya menjadi default setting kita. Kenyataannya, mudah sekali mengucapkan dan menuliskannya namun susah sekali melakukannya.
.
Kadang, kita tidak tahu apa yang membuat orang berlaku negatif kepada kita. Bisa jadi dia sendiri mendapat serangkaian perlakuan tak enak dari orang (sebelum bertemu kita) berkali kali dan kitalah ‘korban pelampiasannya’. Bukan karena kita salah, bukan karena kita lemah, tapi karena kita kurang beruntung aja.
.
Hal ini mengingatkanku akan sebuah nasehat seseorang (entah siapa aku lupa) tentang konsep tipping point.
.
Apa itu tipping point? Dalam kamus Oxford di definisikan sebagai “the point at which a series of small changes or incidents becomes significant enough to cause a larger, more important change.” Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bermakna titik di mana serangkaian perubahan atau insiden kecil menjadi cukup signifikan untuk menyebabkan perubahan yang lebih besar dan lebih penting.
.
Tipping point ini bisa dalam bentuk titik menuju kebaikan dan titik menuju keburukan. Harapannya, kita lah yang menjadi pendorong orang lain jatuh ke arah kebaikan. Logikanya seperti ini, bayangkan ada bola di puncak sebuah kurva. SATU sentilan ke KIRI menyebabkan bola masuk jurang neraka, jurang depresi, jurang keputus asaan dan jurang kesedihan. Sebaliknya, SATU sentilan ke KANAN akan menyebabkan dia masuk lembah kebahagiaan, lembah penuh kesenangan, lega dan kebaikan. Jika kita tahu bahwa orang yang ada di hadapan kita (entah kita kenal baik atau tidak) ada di puncak kurva dalam hidupnya, kira-kira apa yang kita lakukan? Tentunya kita akan berhati-hati dalam bertindak, bersikap, berekspresi dan berkata-kata. Kita tidak ingin menjadi penyebab menggelindingnya dia ke jurang nestapa.
.
Bisa jadi sentilan kecil kita berupa sunggingan senyum, SMS emoji cinta, ucapan salam yang penuh ikhlas, tulisan receh (menurut kita), bahkan sekedar mendengar keluh kesah sepenuh jiwa adalah hal kecil yang memberi makna besar bagi mereka yang sedang berada di puncak kurva dan tak tahu harus memilih jalan yang mana.
.
Bisa jadi komentar nyinyir kita di sosial media, tatapan nanar mata atau sekedar alis yang terangkat atau muka yang masam akan membuat dia tergelincir ke arah keburukan.
.
Tak heran jika Islam mengajarkan agar kita berbuat baik meski itu kecil. Kadang hal kecil itu bermakna luar biasa bagi sesama.
.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Jabir bin Sulaim,
وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ
“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan.” (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722)
.
Ketika kita bermimpi besar mengembalikan kemuliaan ummat, maka sembari memahamkan diri kita sendiri dan orang disekitar maka kita pun harus memperhatikan perbuatan/hal kecil yang bisa memberi makna besar.
.
Berapa kali kita mengucapkan dan menulis sesuatu lalu kita lupa. Sepuluh tahun kemudian seseorang datang dan mengatakan kepada kita bahwa lafad yang pernah kita ucapkan menghujam kuat ke dalam dada dan telah mengubah jalan hidup mereka.
.
Tidak gembira kah kita jika tujuh tahun mendatang seseorang datang dan mengatakan kepada kita bahwa senyum yang kita sungging hari ini membuatnya merasa berarti sehingga sejak itu dia tidak lagi membenci dirinya sendiri.
.
Tidak gembira kah kita jika lima tahun ke depan, sapaan selamat pagi tanpa beban yang kita ucapkan membuat seseorang mencari makna kebahagiaan dan berujung padanya memeluk Islam?
.
Tidak gembira kah kita jika uang 25 ribu rupiah yang kita jajakan mencegah seseorang tidur dalam keadaan lapar?
.
Tidak gembira kah kita jika dua puluh tahun mendatang, emoji yang kita kirimkan ternyata menyelamatkan seseorang dari depresi mental?
.
Memang lafad dan lisan punya kekuatan mengubah dunia, namun demikian, perilaku kita sehari hari, cara kita membawa diri, default kita dalam berinteraksi, ekspresi kita dalam bersosialisasi, punya peran yang tak kalah penting.
.
Coba tengok orang disekitar kita. Sudahkah kita mendahulukan Rahmah (kebaikan) kepada sesama? Karena bisa jadi, kita lah tipping point seseorang hari ini, jam ini dan detik ini.
.
Be gentle with people today. You don' t know someone's inside struggles. Instead of being the last straw, you can be their first sign of hope.
.
London, 6 Januari 2021
.
#Kompaknulis
#OPEy2021bersamaRevowriter
#positifliterasi
#GoresanYumna
#COVID19
#Gemesda
Comments