#OPEy2021Day09
.
Disclaimer:
1. Postingan ini disinyalir banyak berisi curhatan dan penilaian yang subyektif.
2. Postingan ini tidak ditujukan kepada pihak tertentu.
.
Intrik Pertemanan di Dunia Maya.
.
oleh Yumna Umm Nusaybah
(Member of Revowriter London dan Co-founder Dokter Kembar)
.
Pernah nggak sih di ‘unfriend’ sama teman Facebook? Gimana rasanya? Jawabanku: Tergantung! Rasa sakit hati di-unfriend oleh teman FB tergantung dari kedekatan kita dengan mereka. Sebenarnya ada kemiripan dengan pertemanan di dunia nyata, jika kita tak terlalu kenal dan tak pernah di telpon atau di SMS oleh seorang teman, lalu orang tersebut lama tak mengontak, ya tak apa. Namun jika kita dulunya sahabat dekat yang selalu telpon-telponan, SMS-an dan tiba-tiba tak pernah di sapa, tak ada kabar, seolah tenggelam di telan bumi maka kita pun akan bertanya tanya. Ada apa gerangan dengannya? Apakah dia sakit? Apakah dia sedang dirundung duka? Apakah dia sibuk dengan aktivitas barunya? Tapi kenapa tidak pernah cerita? Kan kita dulu begitu dekat?
.
Wajar memang kalau kita bertanya-tanya. Kalau si dia memberi penjelasan, pasti semua dengan mudah diselesaikan dan dilupakan. Kuncinya, mau mengomunikasikannya? Mau bertanya, apakah dia tersinggung dengan kita, atau memang benar benar sibuk sehingga bukan hanya kita yang dicuekin tapi semua orang bahkan keluarganya? Itulah yang seharusnya atau biasanya terjadi di dunia nyata. Meskipun kadang tak selalu baik endingnya. Pertemanan dunia nyata lebih mudah mengelolanya.
.
Yang tricky, jika kita berteman dengan mereka di dunia nyata dan maya. Misalkan kolega, teman kuliah, teman SMA dan teman yang tahu masa lalu kita atau bahkan tetangga. Ketika teman di duta (dunia nyata) menjadi teman di dumay (dunia maya) lalu kita di-unfriend mereka, biasanya sakitnya luar biasa. Kenapa? Karena ada pemutusan sepihak tanpa tahu alasannya. Karena unfriend itu pertanda bahwa kita ditolak oleh mereka tanpa tahu alasannya. Mereka tak mau lagi berurusan dengan kita di dunia maya. Dan biasanya ini akan mempengaruhi cara kita handle orang tersebut di dunia nyata. Contoh ekstremnya: seorang lelaki pulang dari kantor dan langsung menjatuhkan talak kepada isterinya. Lalu kabur entah kemana. Tak ada kabar dan penjelasan kenapa ada perceraian sepihak? Pasti sebagai wanita, kita akan mencari cari jawaban yang masuk akal, mempertanyakan ada apa? ujungnya bisa jadi kita menyalahkan diri kita sendiri. Bisa jadi karena kesalahan kita yang kurang perhatian, kurang faham kebutuhan pasangan, tak bisa mengindera tanda ketidakpuasan darinya. Boro-boro menyalahkan suami yang tiba-tiba saja menceraikan dan melarikan diri, yang ada kita malah dihantui pertanyaan besar dan rasa bersalah yang tak beralasan.
Hal tersebut akan terus seperti itu sampai kita berdamai dengan diri sendiri. Memberi ruang untuk menerima bahwa teman datang dan pergi. Bahwa jika teman meninggalkan kita, tidak selalu karena kita mengecewakan mereka. Bisa jadi karena mereka lah yang bermasalah. Namun mereka tak tega mengungkapkannya kepada kita. lebih baik menjauh daripada memperbesar masalah.
.
Dari sini bisa di fahami kenapa di-unfriend oleh teman di sosial media yang sudah kita anggap ‘teman dekat’ bisa juga berbahaya bagi kesehatan mental kita. Kita mempertanyakan reputasi/ kebaikan / kredibilitas diri kita sendiri. Kenapa? karena kita sendiri tak bisa merasionalisasi pemutusan sepihak pertemanan itu. Apalagi jika si dia masih harus kita temui di dunia nyata. Pasti jadi canggung dan aneh jadinya.
.
Berapa banyak orang menuliskan rasa kecewa dan marahnya ketika di unfriend oleh teman atau saudara. Ketika korban unfriend merasa kecewa, hal itu bukan karena mereka sok baper, tapi karena bagi mereka, pertemanan mereka sangat bermakna. Jika A melihat skala kedekatannya dengan B ada di angka 9, sedang si B melihat kedekatan mereka hanya di angka 5, maka wajar jika mudah bagi si B mengakhirnya. Masalahnya, kedekatan kita sebagai teman di sosial media tidak bisa diukur dengan skala. Karena ini urusan hati. Bisa jadi kita berhaha hihi tapi hati kita tidak disana. Mungkin ada yang berargumen bahwa seringnya komen dan like menunjukkan kedekatan, tapi jika tidak pernah DM atau ngobrol privately dan membuka diri, berbagi masalah dan keluh kesah, tahu sejarah kita, maka susah juga menetapkan mereka sebagai teman istimewa.
.
Inilah uniknya berteman melalui sosial media. Pertemanan dimana kita bisa ‘berpura-pura’. Menebar pesona. Menghadirkan personality yang sesuai tuntutan pasar tapi bukan diri kita yang sebenarnya. Perlu di ingat, pertemanan dunia maya mengeliminasi banyak faktor (human touch) seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh yang mana hal ini berporsi besar (80%) saat kita berkomunikasi.
.
Jika kita tidak bisa mengatur perasaan. Jika kita tak bisa membedakan mana kenyataan dan mana dunia maya, bisa bisa dibuat gila. Bayangkan jika perasaan ini di alami oleh remaja yang belum ‘ajeg’ pribadinya. Remaja yang masih mencari jati diri. Remaja yang bisa jadi memakai ‘likes dan hearts’ sebagai ukuran diterima tidaknya dia oleh ‘teman’ dan dunia. Maka jangan salahkan remaja itu jika dia menjadi cemas, depresi dan kecanduan social media.
.
Pesan moral
.
Pertama, berfikir lah seratus kali untuk memberi anak-anak kita akses sosial media. Karena kesehatan dan kematangan mental mereka jauh lebih berharga daripada likes dan komen dari orang yang tak pernah mereka temui. Bagi para generasi yang sudah dewasa, bisa jadi gampang untuk bilang bahwa sosial media bukanlah segala galanya. Puluhan dislike ga mempan untuk menghacurkan ketahanan mental. Namun bagi generasi muda, sudah banyak bukti bahwa dunia maya berefek sama besarnya dengan dunia nyata. Terbukti banyak depresi dan kasus bunuh diri karena online bullying.
.
Kedua, Berfikir lah dua kali sebelum unfriend seseorang. Mungkin bisa jadi pertemanan yang kita anggap biasa, bagi mereka adalah nyawa karena kita lah satu-satunya harapan dan orang yang bisa menopang semangat hidup mereka. Berfikir lah positif sebelum remove seseorang. Bisa jadi mereka punya masalah jadi ingin menghilangkan jejak dengan unfriend semua temannya (tak haya kita). Bisa jadi juga mereka sedang tidak ingin mendengar kabar dari siapapun karena masalah di dunia nyata yang mendera.
.
Ketiga, Kalaulah kita menjadi korban unfriend, tak perlu kecewa dan tak perlu dianalisa. Move on and add a new friend 😜. Mungkin kita terlalu aktif memenuhi timeline mereka. Mungkin postingan kita terlalu menantang pemikiran. Mungkin pencapaian dan aura bahagia kita membuat mereka mempertanyakan kebahagiaan mereka sendiri. Mungkin postingan kita menjadi trigger negative emotion dalam diri mereka lalu bertanya tanya “kenapa kok bukan aku ya yang bahagia?” Mungkin mereka capek membaca tulisan panjang. Mungkin landasan mendasar kita sudah tak lagi sama jadi tak lagi sejalan.
.
Million dollars Question for me, pernahkah aku unfriend orang? Pernah! Yakni para ikhwan yang tak tahu kok bisa nyanthol di pertemanan. Pernah juga akun yang tak jelas namanya (misal: Gadis kiyut). Pernah juga nge-block teman yang sudah unfriend duluan karena pertengakaran hebat di dunia nyata. Pernah juga akun jualan yang isinya hanya iklan sedang aku posisi di Inggris tak mungkin untuk membeli dan bertransaksi.
.
Prinsipku, sosial media sama dengan platform sosial lainnya. Aku hanya ingin dikelilingi oleh orang yang baik, orang yang menambah kebaikan, orang yang bijak, bisa membawa diri, mengontrol diri, menyuntikkan motivasi, mengingatkanku kembali dan sebisa mungkin menjauh dari orang yang negatif, nggak sopan dan nggak bermanfaat.
.
Mohon maaf jika ada salah kata atau ada hal yang menyinggung perasaan.
.
London, 9 Januari 2021
.
#Kompaknulis
#OPEy2021bersamaRevowriter
#positifliterasi
#GoresanYumna
#COVID19
#Gemesda
Comments