#Day2
.
Hijabku BUKAN pilihanku
.
Oleh: Yumna Umm Nusaybah
(Member Revowriter London)
.
Kaget dengan judulnya? Ya...memakai hijab (khimar dan jilbab) bukan sebuah pilihan. Tapi sebuah KEWAJIBAN.
.
Layaknya solat. Mau sholat atau nggak sebenarnya bukan pilihan. Kita harus melakukannya sebagai bukti keimanan. Jika ada orang tidak solat, tidak puasa di bulan Ramadan, tidak berzakat, maka kita tidak pernah mengatakan bahwa mereka memilih demikian. Tapi kita mengatakan bahwa mereka meninggalkan perintah agama. Memang banyak sebabnya, bisa jadi karena mereka kurang memahami konsekuensi di akhirat, tidak tahu kalau itu adalah kewajiban, ada ketakutan dianggap macam-macam, ada kemalasan, merasa tidak praktis dan terasa menyulitkan. Tapi semua orang tahu bahwa sebuah kewajiban adalah keharusan dan bukan pilihan. Kalau aktivitas tadi sebuah pilihan maka kapan saja mereka bisa se-enaknya meninggalkan solat, puasa dan berzakat. Padahal tidak demikian kenyataannya.
.
Menurut saya, sesuatu disebut pilihan jika antara meninggalkan dan melakukan, memiliki konsekuensi yang tak jauh beda. Sebuah pilihan bisa berubah dari waktu ke waktu. Hari ini saya memilih makan nasi goreng. Besok Mie goreng. Hari ini saya memilih tinggal di Inggris. Mungkin 10 tahun lagi saya memilih tinggal di Indonesia. Hari ini saya tidak bekerja, mungkin bulan depan saya memilih bekerja. Semuanya berada dalam ranah Mubah (dibolehkan) dan saat itulah kita punya pilihan.
.
Yang lebih penting sebenarnya, apa yang mendasari sesuatu itu di sebut pilihan? Apakah benak manusia yang menjadi tolok ukur? Ataukah justru baik buruk, benar salah tadi di sandarkan pada tuntunan Sang Pecipta benak manusia?
.
Di dunia barat, kebebasan individu begitu dijunjung tinggi. Ide ini sudah diekspor ke seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Seseorang ‘bebas’ melakukan apa saja berlandaskan pada penilaian pribadi mereka. Masing-masing orang tidak akan memiliki standar yang sama. Satu contoh saja, jika kita bertanya: apakah sosial media itu baik atau buruk? Maka kita akan mendapat sekelompok orang yang menjawab baik dan kelompok lain menjawab buruk. Alasan dari tiap orang dikelompok tersebut bisa beraneka ragam. Kenapa? Karena standar baik dan buruk tiap orang akan bergantung pada cara pandang, budaya, pemikiran dan latar belakangnya.
.
Wajar jika debat tentang syariat tak pernah ada ujungnya. Mereka menuduh Islam memenjarakan wanita karena hijabnya. Menomorduakan wanita karena hukum warisan. Memandang rendah wanita karena hukum persaksian. Melihat wanita sebagai makhluk terjajah karena harus meminta ijin kepada suaminya. Mereka memandang syariat dari lensa individualis dan sekulerisme. Saat yang sama berusaha meyakinkan kaum muslimah bahwa lensa Islam mereka sudah jelek, banyak tergores, ketinggalan jaman dan tak cocok lagi dipakai di jaman sekarang. Walhasil, mereka melihat kaum perempuan yang masih memakai lensa Islam harus ‘dibebaskan’. Mereka harus diajari untuk melihat setiap permasalahan dengan menggunakan lensa sekuler ini. Jika tetap bersi keras maka muslimah inilah yang bermasalah. Bukan lensanya!
Kalaulah akhirnya perempuan muslimah ini memakai lensa sekuler namun masih tetap memilih memakai hijab dengan alasan kebebasan (sama halnya dengan perempuan lain yang bebas memakai rok mini atau celana super pendek) maka penyeru ide kebebasan masih tetap melihat muslimah tadi BELUM MENGAMBIL PILIHAN YANG TEPAT! Mereka akan dianggap terbebas dari kungkungan lensa Islam selama mereka bebas dari hijabnya!
.
Bagaimana sikap yang seharusnya?
.
Sebagai muslimah, paradigma dari lensa Islam dan syariah lah yang harus dipakai. Jika mereka tidak memilih Islam dan iman maka keharusan memakai lensa itu tidaklah ada. Di sinilah ada pilihan. Memilih menjadi seorang Muslim? Ataukah sebaliknya? Ketika seseorang memilih menghambakan dirinya kepada Sang Maha Pencipta maka saat itulah kita menentukan pilihan. Apa yang datang sesudahnya menjadi konsekuensi dari pilihan awal. Sebagai muslim, ketika melihat masalah, lensa yang harus dipakai adalah lensa yang sudah disediakan oleh Pencipta Kehidupan. Allah SWT sudah menurunkan tuntunan yang lengkap. Mengajarkan bagaimana melihat dan meletakkan dunia. Darimana kita? Apa yang terjadi setelah nyawa lepas dari raga? Berakhir dimanakah ruh manusia? Lensa islam mampu memandang sebuah fakta dan mengajari penyikapan kita dengan sejelas jelasnya. Sampai hal sekecil-kecilnya. Ibarat kacamata, ukuran minusnya sudah di takar sedemikian rupa untuk seluruh manusia. Akan bisa dipakai selamanya. Akan bisa melihat setiap hal dengan jelas tanpa bias!
.
Kok bisa? Karena hakikatnya semua manusia dari jaman Nabi Adam AS sampai hari kiamat memiliki potensi, masalah, dan penyelesaian yang sama! Hanya warna dan jenisnya saja. Sama sama butuh makan. Akhirnya manusia bekerja. Memang jenis pekerjaannya berbeda. Namun ujung dari kebutuhan itu sama. Berhubung Islam datang dalam bentuk Khutthutun Ar Ridha (garis-garis besar), darinya bisa di ekstrak segala macam jenis hukum untuk masalah baru. Hanya diperlukan manusia cerdas, hanif, lurus dan bertaqwa yang disebut Mujtahid. Dia yang akan menggali hukum-hukum dari Quran dan Sunnah untuk menyelesaikan masalah baru.
.
Hijab dalam hal ini Jilbab dan Khimar bukan hal baru. Hukumnya tidak pernah berubah. Kewajibannya sudah ada sejak Quran surah An-Nur:31 dan Al Ahzab:59 turun. Bagaimana seharusnya merespon perintah ini? Tengok saja cara sahabiyah meresponsnya.
.
Sayyidah Aisyah RA menarasikan, “Ketika turun ayat hijab, para muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seketika itu mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka. Mereka merobek selimut mereka lalu berkerudung dengannya. (HR. Imam Bukhari: 4759)
.
Ummu Salamah, Istri Nabi ï·º yang lain, mengisahkan seperti pemandangan sekumpulan gagak hitam. “Ketika turun firman Allah, “Hendaknya mereka (perempuan-perempuan beriman) mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS. Al-Ahzab: 59), perempuan-perempuan Anshar keluar seolah-olah pada kepala mereka terdapat burung-burung gagak karena warna (warna hitam) kain-kain (mereka).” (HR. Imam Abu Daud : 4101).
.
Demikianlah lensa Islam yang didasari sebuah keimanan. Mereka merespon perintah Allah ï·» tanpa jeda. Tidak ada debat, mencari cari alasan atau bahkan mempertanyakan sebuah syariat. Karena pilihan sudah di tetapkan sejak awal. Bahwa tujuan kita diciptakan adalah menghamba kepadaNya.
.
So...hijab bukan pilihan namun kewajiban. Bukti kita mencoba taat pada syariat. Sekalipun tak seharusnya tersirat keinginan untuk melepasnya, mendorong orang lain melepasnya, atau bahkan menjadi asisten orang-orang yang berdalih ingin membebaskan kita dari kungkungan.
.
Hijab mungkin hanya selembar kain, namun ini adalah simbol Islam dan simbol ketaatan. Simbol kita bangga memakai lensa Iman dan Islam dalam menilai sebuah perbuatan.
.
London, 2 Februari 2020
.
#HijabEveryDay
#HijabSampaiMati
#HijabPerintahAllah
#goresanyumna
#KisahDariInggris
Comments