#Day3
.
Hidayah Yang Hampir Hilang
.
Oleh: Yumna Umm Nusaybah
(Member Revowriter London)
.
Al Kisah...
Di sebuah desa terpencil, tinggal seorang gadis belia. Dibesarkan oleh orang tua yang sangat perhatian dengan pendidikan. Agama memang menjadi tuntunan. Namun sekedar puasa, solat, mengaki, haji, nikah, waris dan berputar masalah ibadah. Didorong mimpi besar sang ibunda. Si gadis harus meninggalkan desa tercinta untuk nge-kos supaya bisa sekolah di SMA favorit di kabupatennya. Di usia 15 tahun dia sudah jauh dari orang tua. Situasi memaksanya untuk bisa mandiri. Mengambil keputusan-keputusan besar berkaitan dengan keuangan, target sekolah, memilih teman, menjaga pergaulan, memilih les-lesan. Semuanya sendiri. Tentu komunikasi lewat telpon dengan ibunda masih terus berjalan. Setiap pagi, di jam yang sama dengan durasi kurang lebih sama. Ibunda mengabsen tanpa jeda. Di masa SMA inilah perubahan besar terjadi.
.
Kelas 2 SMA kelas pertengahan semester
.
Suatu hari ada materi mentoring dari kakak kelas. Aku memanggilnya mbak Anik. Dia kakak kelas yang ramah, cerdas, percaya diri. Dialah ketua OSIS yang disegani dan yang istimewa dia memakai HIJAB. Kami satu kos-kosan. Tapi aku belum dekat. Aku mengenalnya sebagai orang yang sangat bersahaja. Semua orang di kos-kesan menghormatinya. Bahkan bisa dibilang mereka semua sungkan. Tak ada yang berani mengganggunya. Siang itu di acara mentoring Mba Anik berkata: “Dek, sampeyan tahu nggak kalau perempuan itu diWAJIBkan menutup aurat ketika mereka keluar rumah dan dihadapn non mahramnya?”
“Hah?! Wajib, Mba?” Aku tersontak kaget.
“Iya, Dek...” jawabnya singkat.
“Itu artinya kalau aku nggak pake’ kerudung dan menutup aurat, artinya aku berdosa mbak? Sama seperti dosanya orang yang nggak solat?” Tanyaku masih penasaran.
“Bener sekali, Dek” jawabnya.
Jiwaku terguncang! Tanpa disuruh, seluruh badanku terasa lemah lunglai. Aku tertunduk lesu. Kutelungkupkan wajahku di atas bangku. Aku menangis sejadi jadinya. Seperti ada yang menamparku. Hatiku bergetar kencang. Ada rasa marah, takut dan kecewa karena baru sekarang, di usia 15 tahun, aku baru mendengar akan adanya kewajiban berkerudung. Dimana saja aku selama ini? Mengapa saat aku belajar Iqra di Mushola dekat rumah, Ustad tidak menjelaskannya? Siapa yang salah? Kenapa seolah kewajiban ini datang tiba-tiba? Jangan-jangan mbak Anik saja yang mewajibkannya!
.
Berjuta pertanyaan bermunculan. Satu persatu Mba Anik sabar menjawab dan menjabarkannya. Aku tak berkutik. Tak ada lagi kekuatan untuk menolak kebenaran hujjahnya. Kewajiban ini ternyata sudah sejak lama ada. Aku saja yang baru mendengarnya.
.
Malam itu juga aku telpon ibunda. Beliau tidak serta merta menyetujui keputusanku untuk berbusana muslimah. Pertimbangannya, seragam sekolah yang masih baru, harus membuat lagi, tentu tidak murah! Ibunda menjanjikan lepas SMA aku boleh mengubah penampilanku. Sementar ini fokus saja sekolah.
.
Kusampaikan ke Mba Anik pandangan ibu. Mba Anik tidak memintaku memaksa ibunda. Berdoa saja supaya Allah membuka hati ibunda dan mengijinkan niatku berhijrah. Masa yang sulit bagiku, karena antara hati dan kenyataan tidak sejalan.
.
Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Seminggu sebelum kami masuk semester baru kelas 3 SMA, ibunda memberikan kejutan. Beliau datang membawa tiga pasang baju seragam berupa atasan lengan panjang dan rok panjang lengkap dengan kerudungnya. Aku tersontak kaget. Hampir saja keinginanku menutup aurat itu lenyap tak berbekas. Bahkan hari itu pula aku mempertanyakan keputusan ibunda, “Kenapa harus sekarang, Mi? Kan tinggal setahun lagi. Kenapa nggak nanti saja pas kuliah?”
Dulu...aku yang memaksa. Namun mungkin karena aku tidak memperjuangkan hidayah yang sudah terbukti kebenarannya. Kini aku sendirilah yang malah ogah-ogahan taat. Hampir saja Allah mencabut keinginan menuntaskan kewajiban. Jika bulan karena ibunda, mungkin diri ini tidak lagi menginginkannya. Untung saja Ibunda bersikeras. Bermodal taat kepada orang tua, aku mengiyakannya.
Mulailah perjalanan sebagai seorang wanita muslimah yang menutup aurat aku mulai. Pesan ibunda yang selalu aku ingat, “Kalau sampeyan pakai kerudung, Mami maunya sampeyan serius dan nggak main-main. Percuma pakai kerudung kalau masih pakai baju ketat, memperlihatkan bentuk pantat, dan tindak tanduknya nggak karuan. Makanya Mami pingin kamu sekalian memakai Jubah.”
الله اكبر perubahan yang drastis!
.
Namun sedikitpun tak pernah ada penyesalan. Dari situ justru banyak pintu-pintu kebaikan yang Allah ï·» buka. Pergaulan makin terjaga. Aku mendapat kesempatan pindah ke kos-kosan yang dipenuhi perempuan berhijab. Bertemu dengan para ahli ilmu.
.
Semoga Allah ï·» memberikan pahala berlipat ganda untuk Mba Anik yang membuka jalan kebaikan untukku.
Dan semoga menjadi amal jariyah untuk ibunda atas segala dorongan dan nasehatnya.
.
Alhamdulillah..hijab itu tetap terpakai hingga sekarang. Semoga hingga akhir hayat.
اللهمّ امين يا ربّ العالمين
.
Karenanya yang masih ragu, tak perlu lama menunggu. Karena kita tidak tahu akankah Allah menjaga keinginan berhijrah dan berkerudung itu.
Jika niat sudah ada. Kuatkan asa dengan melakukannya. Biar Allah yang mengurus apapun setelahnya. Yakinlah bahwa Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan hambaNya yang ingin mengikuti perintahNya.
.
Ini kisahku pertama berhijab. Bagaimana dengan kisahmu?
London, 3 Februari 2020
#HijabEveryDay
#HijabSampaiMati
#HijabPerintahAllah
#goresanyumna
#KisahDariInggris
Comments