Setengah Diin
"Setelah aku menikah aku sering kesepian, Mbak..."
"Boleh main ke rumah Mbak, aku sedang bete... suami terlalu sering pergi..."
"Mbak, nanti mampir yaa... aku mau curhat, suamiku terlalu sibuk..."
Apakah yang tercerabut dari dunia perempuan saat mereka menikah? Time for themselves kata beberapa orang teman. Benarkah? Beberapa komentar di atas boleh jadi tidak mewakili semua perempuan yang berubah status dari gadis menjadi istri, tetapi itu adalah kenyataan subyektif yang dia mengada walau belum tentu menjadi fenomena.
Kesepian di tengah kehangatan yang semula mereka harapkan saat menerima pinangan seorang laki-laki adalah kenyataan yang sering terjadi di awal-awal pernikahan, boleh jadi akan menghilang setelah penyesuaian-penyesuaian tetapi bisa juga menetap ketika tidak terjadi kompromi di antara pasangan suami istri.
Saya sempat terheran-heran ketika datang seorang al-akh menceritakan seorang teman (pasangan dai-daiyah) yang telah menikah lebih dari limabelas tahun rumah tangganya terancam hancur, sudah ada tanda-tanda keretakan, bahkan kata-kata pisah walau belum terjadi secara legal. What's wrong? Sang istri mengatakan bahwa suaminya sama sekali menyerahkan semua tanggungjawab rumah tangga dan urusan anak seratus persen kepada dirinya, sang suami mengaku ternyata ia kurang bisa mencintai istrinya.
Betapa mudah terlontar, kesepian, kurang mencintai, egois. Benarkah nama-nama itu secara riil bisa dilekatkan pada pasangan kita, tanpa melalui proses komunikasi yang akhirnya kemudian terjadi kompromi?
Boleh jadi saya akan berkata pada pasangan-pasangan pengantin baru yang "kesepian" di atas dengan pernyataan: "Sudahkah rasa kesepianmu diungkapkan pada suami?" Maka saya akan secara samar mendengarnya: "belum"
Lalu saya juga akan bertanya pada pasangan yang nyaris berpisah setelah menikah selama lebih dari limabelas tahun itu dengan pertanyaan: "Sudahkah diupayakan membicarakan persoalan itu dalam situasi yang penuh cinta dan upaya mencari solusi?" maka saya merasa akan mendapat jawaban yang sama: "belum"
Akhirnya pertanyaan besar yang terus berputar dalam benak saya adalah: Begitu sibukkah para suami dengan aktifitas bekerja dan dakwahnya sehingga ia kurang bisa meluangkan waktunya untuk sekedar berduaan dengan istrinya, untuk mendengar keluh-kesahnya? Begitu malukah para istri untuk mengakui dan meminta bahwa mereka membutuhkan sebuah telinga yang bisa mendengar, bahwa mereka membutuhkan sebuah tangan yang bisa membelai, dan bibir yang membujuk?
Inilah yang mungkin terjadi di antara pasangan-pasangan suami istri. Persepsi yang salah tentang pernikahan. KONSEP SETENGAH DIIN DIPAHAMI SECARA SALAH, BAHWA DENGAN MENIKAH KITA TELAH SEMPURNA. BUKANKAH RASULULLAH MENGATAKAN SETELAH MENDAPATKAN SETENGAH DIIN (MENIKAH), MAKA KITA HARUS BERTAKWA DENGAN SETENGAHNYA.
Maka, ketika kita menganggap bahwa setelah pernikahan kita menjadi sempurna, kita lalu secara bawah sadar akan menganggap bahwa: suami -dengan predikat shalehnya- pastilah seseorang yang mengerti hak-hak istri, bahwa istri -dengan predikat shalehahnya- pastilah seseorang yang mengerti hak-hak suami. Maka berjalanlah kita dengan persepsi-persepsi kesempurnaan, harapan-harapan berlebihan yang akhirnya patah ketika menemui kenyataan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Just cry in the wilderness seperti yang dilakukan beberapa teman penganti baru, mengeluh pada saya, lalu beban menjadi terangkat? Walau kemudian ia potensial untuk muncul kembali? Atau melakukan perubahan dalam interaksi-interaksi kita dengan pasangan walaupun perubahan bukanlah sesuatu yang mudah?
PERSEPSI BAHWA PASANGAN KITA ADALAH SEMPURNA SEBAB IA ADALAH SESEORANG YANG SHALEH (SHALEHAH) ADALAH SESUATU YANG KURANG TEPAT. SEBAB TIDAK SEORANG PUN DIPERSIAPKAN DENGAN MATANG UNTUK MENGARUNGI BAHTERA RUMAH TANGGA. Sebab semula kita dan pasangan adalah seorang yang asing maka kita tidak pernah tahu secara sempurna, kebiasaan-kebiasaannya, harapan-harapannya, kesukaan-kesukaannya secara persis.
Maka salah satu yang bisa kita lakukan adalah membicarakannya kemudian mengompromikannya, let's compromize!
Meskipun dalam persepsi para istri "cinta tak pernah meminta" tetapi untuk kompromi istri harus berlatih untuk meminta, katakan pada suami: "Mas sayang, maukah memijit punggungku, rasanya pegal sekali..."
Semoga ketika mendengar permintaan ini, para suami ingat bahwa sesungguhnya tugas-tugas rumah tangga (mencuci, memasak, mengepel dll) bukanlah kewajiban istri, tetapi itu dilakukan semata-mata karena cinta.
Semoga para suami ingat bahwa memijit punggung istri tidak akan mengurangi keqowamannya, bahkan mungkin menambah sebab cinta adalah hal yang paling mendasar dalam legitimasi kepemimpinan setelah kapabilitas.
Semoga suami ingat bahwa dengan meminta seperti ini istri sedang mengubah persepsinya bahwa jika cinta tentu tak perlu diminta,
Maka suami akan menyambut permintaan istri dengan empati: "Mari sini, iya Mas tahu, pasti capek mengerjakan semuanya sendirian, mana khadimat pulang..."
Bagi para istri, meski tampak sangat ideal bahwa seseorang yang kita cinta (suami) menjadi sempurna sebagaimana bayangan-bayangan kita sebelum menikah, tetapi DEMI SEBUAH KEBUTUHAN ASASI SEORANG PRIA UNTUK DIKAGUMI, DIPERCAYAI, DIHARGAI, DAN DISETUJUI, JANGANLAH PERNAH MEWAJIBKAN DIRI UNTUK MENGUBAH PARA SUAMI, KARENA MEREKA AKAN MERASA DILECEHKAN DAN TIDAK DIHARGAI.
Kalaupun ada kebiasaan suami yang begitu buruk, cobalah meminta dengan kata-kata yang penuh penghargaan, "Maukah Mas...," "Bersediakah Abang..." atau secara konsisten memberikan contoh tanpa kata-kata. Sebab BAGI UMUMNYA LAKI-LAKI ADALAH SEBUAH AIB JIKA IA TAMPAK SALAH DAN LEMAH DIMATA KEKASIHNYA.
Jika demikian,.
Setengah diin yang disuruh-Nya kita bertaqwa sedang kita upayakan. Dalam rentang jarak perkawinan yang tak terpisahkan. Ever and after. (Intan Savitri - Majalah SAKSI Online)
*IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA*
Al-Hubb Fillah wa Lillah,
Abu Aufa
Seneng...happy lega dan terharu...itulah yang aku rasakan ketika murid 'istimewaku' menyelesaikan Iqra jilid 6 minggu yang lalu...percaya atau nggak aku menitikkan airmata dan menangis sesenggukan dihadapan dia, ibu dan kakak perempuannya....yah...airmata bahagia karena dia yang setahun yang lalu tidak tahu sama sekali huruf hijaiyah kini bisa membaca Al Quran meski masih pelan dan terbata bata...tapi makhrojul hurufnya bagus, ghunnahnya ada, bacaan Mad-nya benar....dan aku bayangkan jika seterusnya dia membaca Quran dan mungkin mengajarkannya kepada orang lain maka inshaAllah akan banyak pahala berlipat ganda... Namanya Tasfiyah ...seorang gadis cilik bangladeshi berusia 6 tahun saat pertama kali aku bertemu dengannya....Ibunya sengaja mengundangku datang ke rumah nya karena memang tasfi tidak suka dan tidak mau pergi ke masjid kenapa? karena sangat melelahkan...bayangkan aja 2 jam di setiap hari sepulang sekolah, belum lagi belajar bersama dengan 30 orang murid didampingi 1 ...
Comments