Skip to main content

Ramadan & Target Harian 

#Milad8Revowriter

#RamadhanBersamaPelitaRevowriter

#PelitaRevowriter

#challengeday13

#Post6

#RamadanDay4

.

Ramadan dan Target Harian

.

Oleh: Yumna Umm Nusaybah

(Member of Revowriter London)

.

Percaya atau nggak, aku hanya punya satu rencana saja Ramadan ini! Yakni, membiasakan dua anak perempuanku puasa sampai maghrib. Syukur-syukur jika bisa sebulan penuh. Tahun ini bisa jadi satu satunya ramadan dimana mereka full di rumah. Entah kapan lagi hal ini akan terulang kembali. Lockdown membawa berkah karena kami tak lagi harus berfikir jam berapa mereka harus tidur dan bangun pagi. Mereka bisa bangun sahur dan kembali tidur. Puasa tahun ini memang tak terlalu panjang di banding dua tahun yang lalu. Kali ini hanya dari 16,5 jam. Namun semakin mendekati akhir Ramadan akan semakin panjang karena mendekati summer Time. Puasa hari ke-tiga dimulai pukul 04:00 pagi dan berakhir pukul 08:21 malam. Di akhir Ramadan, puasa akan dimulai pukul 03:06 pagi dan maghrib pukul 09:01 malam. Jadi dari semula 16,5 jam akan berakhir 18 jam lamanya. 

.

Lah kok targetnya simpel banget? Karena semakin simpel, semakin gampang untuk diukur dan semakin semangat jika mampu meraihnya. Alasanku

.

1. Kondisi kesehatan si sulung. 

.

Sebenarnya dua tahun terakhir anak sulungku sudah mencoba puasa. Tahun lalu hanya berhasil 3 hari saja. Itupun ketika libur sekolah di 10 hari terakhir Ramadan. Tahun sebelumnya, dia sempat masuk gawat darurat karena dehidrasi, tahun sebelumnya juga berkunjung ke UGD. Dua-duanya terjadi di hari terakhir Ramadan. Kami sempat sedih sekali karena justru di hari raya dia sakit dan kami tak bisa kemana-mana. Dari dua pengalaman itu akhirnya aku putuskan untuk melihat situasi dan kondisi. Mungkin aku-nya yang terlalu semangat dan hanya berbekal emosi saja. Gimana nggak, ngelihat keponakan dan anak-anak Indonesia lain yang berhasil puasa sebulan penuh di usia 7 tahun, naluriku terusik. Beginilah kalau rencana tak bermodal perhitungan. Memang tak bisa disamakan dan tak boleh disamakan. Bahkan anak dari bapak dan emak yang sama, kekuatan fisik dan kemampuan mereka berbeda. Buktinya anakku yang kedua, usianya masih 7 tahun oke oke saja ikut puasa penuh bareng kakaknya. Itu membuktikan bahwa sebagai ibu, approach yang kita pakai tak bisa sama. Tak adil rasanya jika mereka harus menanggung perlakuan yang sama padahal potensi mereka berbeda. Susah juga tapi menyeimbangkan antara ‘treat them as individual’ dan mencegah ‘siblings rivalry’’

.

2. Kenyataan bahwa panjang puasa di Indonesia yang selalu sama (kurleb 13.5 jam) sedang di Inggris berubah setiap tahun mengharuskan kita pun beradaptasi. Menyesuaikan sikap dan pilihan serta rencana Ramadan tahunan sangat diperlukan.

.

3. Situasi Lockdown yang otomatis mengurangi kegiatan di luar. Kegiatan ini bisa membantu mengalihkan perhatian dari rasa lapar, tapi karena lockdown, maka hal ini tak lagi bisa dilakukan. So jika target ditambah dengan yang lain-lain (selain puasa) bisa jadi malah menjadi beban. I want them to enjoy the experience of fasting. Dan emak juga ga perlu ‘ngoprak oprak ’ untuk meminta mereka melakukan Check list ini dan itu.

.

4. Distance learning yang masih menyibukkan dan menyita tenaga. Di sekolah mereka bisa bertemu teman juga. Namun dirumah hanya bisa bolak balik kamar, dapur dan ruang tamu. Tugas juga menumpuk. Dengan level energi yang sangat berkurang di banding kondisi biasa, maka mengatur jumlah kegiatan supaya ada simpanan energi harus di pertimbangkan.

.

Rencananya ini akan berlangsung selama distance learning masih ada. Saat 10 hari terakhir Ramadan akan ada liburan. Saat itu mungkin bisa kuberikan tugas tambahan seperti menambah hafalan, membaca Quran lebih banyak, solat rawatib, solat duha, dan lain sebagainya. 

.

Kesimpulan

.

Kadang kala setelah melihat, membaca, mengamati kegiatan teman lewat dunia maya (yang nampak begitu aktif dan kreatif) membuat hati para kaum emak berdegup kencang. 

Ada yang merasa iri kenapa kok kita nggak bisa seperti mereka. 

Ada yang merasa sangat bersalah dan sangat tak sempurna.

Membandingkan diri ini dengan mereka yang punya rencana dan display keren. 

Bukannya malah terdorong dan terinspirasi setelah membaca postingan orang/ melihat foto (baik berupa dekorasi maupun jadwal harian) tapi justru rasa kecewa yang luar biasa. Merasa bulan Ramadan kita sia-sia. Merasa menjadi ibu yang tak berguna. Bukan terinspirasi eh malah menyiksa diri. Wahai emak ... berhentilah berfikir demikian. Setiap anak, keluarga, suami, mertua memiliki dinamika yang berbeda. 

.

Kita tak pernah tahu ‘behind the scene’ setiap orang. 

Ada yang sempat membuat dekorasi menakjubkan. Karena dia tak harus mengurus anak yang berkebutuhan khusus. 

Ada yang sanggup menulis harian, karena dia tak punya mertua yang sakit dan harus dijaga. 

Ada yang sanggup mengkhatamkan Quran dua kali sebulan namun dia bukan Ibu yang punya 4 anak balita.

Ada juga yang sanggup tak tidur dari waktu berbuka hingga waktu sahur karena dia tak harus bekerja esok harinya. 

Ada yang sanggup aktif mengikuti kajian dan mengisi kajian karena dia tak di uji oleh Allah dengan kondisi kesehatannya.

Ada yang sanggup solat rawatib, solat duha, solat isyraq karena dia bukan single mom yang harus berjuang mati-matian untuk tetap sabar, bekerja, mengurus anak, membayar tagihan dan berhadapan dengan depresi yang berkesinambungan. 

Ada juga yang mampu menghafal puluhan ayat Quran dalam sebulan karena Allah masih memberi waktu kepadanya meski sudah sekian lama mendambakan momongan.

.

Loh, standarnya jadi turun dong? Nah yang tahu adalah kita sendiri! Apakah memang Ramadan tahun ini lebih malas dari tahun yang lalu? Apakah kita sedang mencari alasan saja untuk bermalas malasan? Atau memang kita jujur kepada diri sendiri bahwa harapan untuk bisa seperti mereka ada, namun saat ini kondisi menuntut kita untuk memilih prioritas yang lain. Untuk mengetahui mana yang lebih tinggi prioritasnya dan mana yang bukan, maka tak boleh kita ukur dengan perasaan. Allah Ų³ŲØŲ­Ų§Ł†Ł‡ Łˆ ŲŖŲ¹Ų§Ł„Ł‰ lah yang harus menjadi standar. Mana dalam Islam yang harus dilakukan. Dan mana yang bisa dilepaskan. 

.

Berlomba dalam kebaikan memang iya! Namun perlombaan itu harus di iringi kesadaran bahwa tujuan utama adalah surga. Jumlah tak pernah menjadi masalah. Tapi kualitas dan kontinyuitas lah yang Allah perhatikan. 


Dari ’Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah. Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab,


‎Ų£َŲÆْŁˆَŁ…ُŁ‡ُ ŁˆَŲ„ِŁ†ْ Ł‚َŁ„َّ


"Amalan yang rutin (kontinu), walaupun sedikit. lainnya. [HR. Muslim no. 782]

.

Betapa Maha Baiknya Allah!

.

Meski sama sama berlari bisa jadi ‘stamina’ kita tak sama. Ada yang berlari namun berhenti di tengah jalan. Ada yang berlari dan memutuskan belok ke jalan yang tak benar. Ada yang berlari pelan namun pastinya terus bergerak ke depan. Ada yang hanya mampu berjalan karena beban hidup yang tak mengijinkan mereka berlari kencang. 

.

Rencana harus ada! Tapi tak harus sama! 

Merencanakan harus bisa, namun harus di awali dari sebuah paradigma bahwa yang Allah lihat adalah upaya. Jika punya rencana ratusan hanya karena orang yang tak kita kenal melakukannya - tanpa melihat apakah ini cocok dengan kondisi kita- maka yang ada justru terjebak dengan hitungan target yang tak berbekas. 

.

Contoh sederhananya adalah rencana mengkhatamkan Quran. Membaca dan mengkhatamkan Quran memang sangat dianjurkan. Bahkan para sahabat bisa khatam dalam 24 jam! Mereka meletakkan kitab-kitab lain. Fokus mereka adalah Quran. Kalau dulu masih single atau belum ada anak, kita bisa membaca Al Quran kapan saja. Setelah beranak tiga, waktu untuk sendiri dan membaca Al-Quran semakin menipis. Usai mengambil wudhu, anak minta bantuan di toilet. Wudhu lagi, anak kedua meminta hal yang sama, wudhu lagi anak pertama minta bantuan mengerjakan PR. Merasa yakin masih punya wudhu, beranjak ambil Quran, anak kedua meminta snack. Setelahnya menyiapkan makan siang. Lanjut Membersihkan dapur karena berantakan. Waktu duhur masuk. Wudhu yang diambil untuk membaca Quran ternyata wudhu untuk solat duhur! 

.

Itulah kenyataan. Aku sering mendapat keluhan betapa para kaum ibu mendambakan bisa bercengkrama dengan Al Quran tanpa ada jeda atau ‘iklan’ dari makhluk mungil yang memang secara fisik sedang membutuhkan kita. 

.

Karenanya, menurutku yang diperlukan adalah membuat rencana sederhana yang do-able dan cocok dengan situasi kita. Saat kita mampu dan on the process mencapainya, tambahkan sedikit rencana baru. Demi menghindari perasaan overwhelmed alias kewalahan. 

.

Yuk kita lihat kondisi kita, prioritaskan skala perbuatan, rencanakan, lakukan, evaluasi, tambahkan rencana baru, kasih reward setelah pencapaian. 

Semoga Allah Ų³ŲØŲ­Ų§Ł†Ł‡ Łˆ ŲŖŲ¹Ų§Ł„Ł‰ memudahkan. 

.

London, 27 April 2020

Ditulis di hari ke-5 Ramadan

.


#GoresanYumna

#Revowriter

#KompakNulis

#GeMesDa

#Covid19

Comments

Popular posts from this blog

my Special Student

Seneng...happy lega dan terharu...itulah yang aku rasakan ketika murid 'istimewaku' menyelesaikan Iqra jilid 6 minggu yang lalu...percaya atau nggak aku menitikkan airmata dan menangis sesenggukan dihadapan dia, ibu dan kakak perempuannya....yah...airmata bahagia karena dia yang setahun yang lalu tidak tahu sama sekali huruf hijaiyah kini bisa membaca Al Quran meski masih pelan dan terbata bata...tapi makhrojul hurufnya bagus, ghunnahnya ada, bacaan Mad-nya benar....dan aku bayangkan jika seterusnya dia membaca Quran dan mungkin mengajarkannya kepada orang lain maka inshaAllah akan banyak pahala berlipat ganda... Namanya Tasfiyah ...seorang gadis cilik bangladeshi berusia 6 tahun saat pertama kali aku bertemu dengannya....Ibunya sengaja mengundangku datang ke rumah nya karena memang tasfi tidak suka dan tidak mau pergi ke masjid kenapa? karena sangat melelahkan...bayangkan aja 2 jam di setiap hari sepulang sekolah, belum lagi belajar bersama dengan 30 orang murid didampingi 1

Tuk Semua Ibu-Ibu

At 05 July, 2006 , Mother of Abdullaah said… Whaa kalo aku pribadi, emaknya sendiri musti banyak belajar.. kira2 kalo ngimpi punya anak hafidzah 'layak' gak ya :D At 05 July, 2006 , Inaya Salisya said… Wah subhanalloh ya.. Ina juga pengen mbak, tapi ga ada do it hehe... ummu Aqilla terharuuu...terharu biru...jadi semangat nyiapin anak jd hafidz nhafidzah. jazakillahkhoir, ukh! Atas dasar 3 komen diatas akhirnya aku tertarik untuk ngasih komentar tentang cita cita punya anak hazidz/hafidzah...dimanapun seorang ibu pasti ingin anak2nya menjadi anak yang sholeh dan sholehah...hanya mungkin gambaran masing2 ibu berbeda dan derajat kesholehan yang mereka gambarkan dan inginkan juga pasti berbeda satu sama lain.....namun terlepas dari itu semua, setiap ibu muslimah pasti sangat bahagia dan bangga jika punya anak2 yang bisa menjadi penghapal Quran alias hafidz...kenapa ? karena sekian banyak pahala yang bakal dapat diraih dari sang Ortu dan juga sang anak..hanya saja cita2 y

Kisah sedih seorang dokter

Al kisah ada seorang teman laki laki yang pernah bersekolah dengan suami waktu jaman SMP dan SMA. Sebut saja namanya Amr, Amr datang dari keluarga miskin bahkan bisa dibilang sangat miskin, dia dirawat oleh bibinya yang juga kekurangan. Tidak jarang Amr harus menahan lapar ketika berangkat sekolah. Namun semangatnya yang tinggi mengalahkan rasa laparnya....hari berganti hari, Amr melanjutkan sekolah ke SMP, disitulah Amr bertemu dengan suamiku, hampir tiap hari mereka berbagi makanan bersama, subhanAllah...meski demikian, bisa dibilang Amr sangat cerdas dan pekerja keras, hal ini terbukti dengan prestasi sekolah yang patut bibnya banggakan. Di SMP itu ada sekitar 12 kelas dan masing masing kelas ada sekitar 70 siswa.....diantara ratusan siswa Amr selalu menjadi juara 1, sampai sampai dia diberi kebolehan naik kelas berikutnya hanya dalam waktu 6 bulan, walhasil dalam setahun dia naik kelas 2 kali dan setiap naik kelas dia selalu menjadi TOP STUDENT! Ketika masuk SMA, hal yang sam