Oleh Yumna Umm Nusaybah
"Mama, what is the one best moment in your entire life?" (Mama, apakah momen terbaik dalam seluruh hidupmu?)
Pertanyaan singkat dari puteri sulungku Nusaybah. Terlontar tanpa ada aba aba saat aku menyiapkan makan siang buat dia dan dua adiknya. Aku diam sejenak. Kucoba menata kembali lembaran kisah dalam hidupku. Banyak sekali kejadian indah yang telah aku alami selama puluhan tahun berpijak di muka bumi ini. Memilih salah satu dan terbaik bukanlah perkara gampang. Akhirnya aku cari kejadian apa yang bisa mengantarkanku menjadi seperti sekarang?
Setelah jeda beberapa saat, akhirnya aku jawab:
"If I have to choose amongst all the good things that ever happened to me, I would pick 2! Is that okay?" (Kalau aku harus memilih diantara sekian banyak kejadian baik, maka ada dua. Bolehkan?)
"Yes sure!" (Ya, tentu) jawab Nusaybah yang makin nampak penasaran.
"One was the day I found out that me and Tante Rin were admitted to the same medical school." (Satu adalah hari dimana aku dan Tante Rin-panggilan Nusaybah untuk saudara kembarku- diterima di fakultas kedokteran yang sama)
"Why is that the best?" Puteriku masih ingin tahu alasan mengapa aku memilih momen itu.
"It’s because that had been a lifelong dream of my mom. I knew how much she wanted us to be doctors and helped people. I was so happy beyond belief that I could finally fulfil her dream. Also, this admission lead to even better thing which is the second best moment" (Karena itu adalah mimpi lama ibuku, aku tahu betapa besar harapan beliau agar kami menjadi dokter dan membantu banyak orang. Aku bahagia bukan main ketika tahu bahwa aku bisa mewujudkan mimpinya. Dan juga, diterimanya aku disitu telah mengantarkanku ke momen terbaik yang kedua)
"What’s the second one?" (Apakah yang kedua?) Lanjut Nusaybah.
"It is the day, when I sat at the Masjid in my campus where I met a sister that helped me to find a shared accommodation during my study. Little did I knew that was the accommodation where I found Islam and change the way I view life. If I didn’t sat there at that time, met and spoke to her, I don’t think I would be the way I am now." (Hari disaat aku duduk di masjid kampus lalu bertemu dengan seorang muslimah yang membantuku mencari kos-kosan selama perkuliahan. Ternyata, di kos-kosan itulah aku menemukan Islam dan mengubah cara pandangku terhadap kehidupan. Jikalau aku tidak duduk di situ, bertemu dan ngobrol dengan sister tadi maka aku tidak akan bisa menjadi seperti sekarang). Kujawab pertanyaan Nusaybah dengan panjang lebar.
Jawaban dari pertanyaan di atas memang bukan angka mati. Setiap orang akan memiliki versinya masing masing. Mungkin ada yang menjawab masa terbaiknya adalah saat mereka menikah. Saat mereka menjadi ibu. Saat mereka pertama kali naik pesawat. Saat mereka mendapat beasiswa ke LN. Saat mereka merantau di negeri orang. Saat mereka berhasil memulai bisnisnya. Yang suka berfilosi mungkin lebih memilih saat mereka terpuruk. Karena dari keterpurukan itulah mereka memulai sebuah kebangkitan.
Bagiku, pertanyaan ini sebenarnya mengusik ide dasar tentang apa yang kita anggap paling baik, mulia dan berharga?
Saat terbaik adalah saat dimana kita mendapatkan benda/ barang/ orang/ hal berharga tadi.
Bukan berarti keluarga, anak, suami, harta benda, karir, jenjang pendidikan, waktu luang, bisnis, teman setia atau bahkan hewan kesayangannya tidak berharga! Bukan sama sekali! Tapi pastilah ada hal mendasar yang mana kehidupan kita bertumpu, berporos dan berjalan di atasnya.
Seandainya semua yang ada di dunia ini harus lenyap. Apakah hal terakhir yang akan kita pegang erat? Itulah hal yang paling berharga! Bagi Luqman di dalam Al Quran, Iman kepada Allah ﷻ adalah hal yang paling bermakna!
Demikian juga, seorang muslim seharusnya. Tanpa Iman hidup tak akan aman. Tanpa iman arah langkah tidak akan jelas. Tanpa iman cobaan hidup tak akan berbuah kebaikan. Tanpa iman, tidak ada harapan di masa depan. Tanpa iman surga neraka tidak lagi dipercaya. Walhasil orang tersebut akan berbuat seenaknya.
Jika diperhatikan, ada saat dimana Allah ﷻ sebenarnya sudah menggiring kita menuju jalan kebaikan. Allah posisikan orang-orang soleh yang menunjukkan kita ke jalan-Nya. Di hadirkan manusia manusia yang dengan sabar membimbing kita. Inilah cara Allah membuktikan sayang-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
"Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini)." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ada kalanya petunjuk itu kita sadari dan terima tanpa jeda. Namun adakalanya tabir rahasia itu baru tersibak setelah berpuluh puluh tahun lamanya. Ya...Setelah beribu kali Allah mengetuk pintu hati dan benak kita.
Bagi kita yang lahir dan besar di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia, nikmat Iman sering di pandang sebelah mata. Harta, tahta, strata pendidikan, dan rupa jauh lebih menggoda. Kenapa? Karena semua itu terlihat oleh kasat mata. Sedang Iman dianggap tidak menghasilkan. Iman kadang mengekang. Iman membatasi aspirasi. Astaghfirullah!
Menjelang Ramadan ini, banyak yang sudah mempersiapkan diri. Mulai dari memperbanyak puasa di bulan sya’ban, membersihkan rumah, beli mukena baru, stok makanan, sampai jadwal tarawih dan buka bersama.
Ramadan bulan mulia, sewajarnya kita berbahagia menyambutnya. Berpuasa adalah bukti dari ketaatan kita kepada-Nya. Lalu apakah ketaatan hanya ada di bulan mulia? Mengapa kadang masih ada keengganan untuk ikut aturan-Nya? Mengapa kadang ragu untuk taat dan bertaubat? Menunggu usia senja yang belum tentu kita dapat?
Sebelum memulai Ramadan mari kembali bertanya: apa sebenarnya yang kita cari berlelah lelah di dunia? Apa yang menjadi kunci kebahagiaan kita? Apakah cita cita terbesar kita? Masihkah urusan dunia? Ataukah kita sudah berupaya melebarkan sayap untuk tidak hanya mengurus diri dan keluarga tapi juga Agama yang di wariskan oleh Rasul-Nya?
London, 29 April 2019
#PR6kelaskarakter
#kelasintermediate
#revowriter
Comments