Pukul 12:30 siang masuk waktu ISHOMA, sambil menunggu antrian makan siang, aku putuskan untuk sholat duhur karena di musim dingin seperti sekarang, waktu waktu solat berdekatan satu sama lain. Aku tanya ke ketua panitia, seorang wanita berkulit putih berambut pendek bernama Bethan:"do you have a small spare room where I can pray?" (Adakah ruangan kecil yang bisa aku pakai untuk solat?)
Dengan senyum manis, dia menjawab:"Let me ask the museum manager and I will get back to you, when do you need it and for how long? (Aku akan coba tanya ke manajer museum dan nanti aku kasih tahu kamu, kapan kamu butuhnya dan untuk berapa lama?).
Aku jawab: "I would appreciate it if I can use it now and I only need it for no longer than 5 to 7 minutes" (Kalau bisa sih sekarang dan aku hanya butuh untuk 5-7 menit saja)
Selang beberapa menit, Bethan sudah kembali dan mengajakku turun tangga dan menunjukkan ruangan meeting kosong yang bisa menampung lebih dari 10 orang!
"Thank you so much, Bethan! I really appreciate it, would it be okay if use it now and again in the next 30 - 45 minutes?"
(Terima kasih banyak, Bethan, dan bolehkah aku pakai lagi ruangan ini sekarang dan 30-45 menit lagi?) - sekalian ijin untuk memakai ruangan yang sama untuk solat asar.
Selesai solat, aku menuju meja yang sudah dipenuhi sandwich. Di situ sudah tertulis berbagai jenis sandwich, ada yang untuk vegetarian, gluten Free, dan sandwich yang berisi ayam dan daging. Jelas jelas daging dan ayamnya nggak halal, walhasil aku pilih sandwich untuk vegetarian yang isinya alpukat dan keju (ga nge-fan sama sekali sama rasanya tapi asal perut terisi saja)
.
.
.
Selesai makan, masuklah kami ke sesi kedua yang di isi oleh Ms Sarah Minor-Massy- seorang ibu dengan satu anak yang bekerja sebagai Solution director di MindGym. Dari aksennya, kelihatannya dia bukan wanita asli London. Dugaanku benar saat dia memperkenalkan diri. Sarah lahir dan besar di California, dan baru setahun terakhir pindah ke London.
Topik yang di angkat Sarah hari itu berjudul: One of Us. Diskusi utamanya berbicara tentang bagaimana secara psikologis, perilaku setiap manusia akan selalu dipengaruhi oleh cara pandang mereka alias bias yang mereka miliki. Cara pandang/ bias ini terbentuk dari proses berkembangnya mereka di sepanjang perjalanan hidup, jumlah dan jenis informasi yang masuk ke dalam otak, dan apa yang menjadi kebiasaan keseharian kita (budaya). Beliau menyebutnya "unconscious bias". Sarah membuat sesinya interaktif.
.
.
Sesi itu dia mulai dengan sebuah tes yang bernama IMPLICIT ASSOCIATION TEST dimana tes ini menganalisa adanya fenomena "the Stroop effect"
Dia menampilkan tulisan yang berwarna. Kata merah di tulis dengan tinta berwarna merah, lalu kami para audiens di minta membaca WARNA dari TULISAN itu secepat mungkin. Wajarlah kalau kami semua bisa membacanya dengan sangat cepat dan mudah. (Lihat gambar 1)
Selanjutnya dia menampilkan kata merah tapi di tulis dengan tinta warna biru dan kami di minta menyebut WARNA DARI TULISAN secepat mungkin dan BUKAN APA yang tertulis, saat inilah banyak yang berhenti atau mungkin menyebut warna yang keliru. (Lihat gambar 2)
Dari tes sederhana ini, para psikologis menyimpulkan bahwa alam bawah sadar kita cenderung secara cepat membuat kesimpulan dan kadang kesimpulan ini tidak logis dan terlalu menggeneralisasi. Warna merah belum tentu tertulis dengan kata MERAH (seperti pada latihan 2), tapi secara otomatis otak kita akan membaca kata "merah" yang berwarna "biru" dengan sebutan "merah" padahal yang di inginkan adalah menyebut warna dan bukan membaca kata yang tertulis.
Alam bawah sadar kita cenderung mengasosiasikan kata dengan hal tertentu. Salah satu contonya adalah kata: kulit putih di asosiasikan dengan kata cantik, kata Afrika di asosiasi kan dengan krisis kelaparan, kata Eropa di asosiasikan dengan kemajuan, kata bule di asosiasikan dengan ganteng dan kaya, dan seterusnya. Pelajaran yang Sarah sampaikan: sudah menjadi sifat manusia untuk selalu ‘make a quick judgement’ (menghakimi sesuatu dan situasi dengan cepat) berdasar dan bergantung dari kebiasaan dan informasi yang sering kita peroleh. Sayangnya ‘quick judgement’ ini sering tidak benar bahkan berbahaya, sudah semestinya kita ‘take time’ untuk memberi diri kita sendiri kesempatan berfikir sehingga kita bisa menghakimi sesuatu, situasi dan seseorang dengan benar pula.
Kesimpulanku pribadi: berhati hatilah dalam mencari informasi, pastikan informasi, ilmu yang kita baca dan isi ke dalam otak kita adalah informasi yang benar dan valid, bukan hoax tapi berdasar. Kalau ilmu itu ilmu Islam, maka harus ada referensi dalil (Quran dan Sunnah). Kalaulah informasi itu tentang seorang maka kita kenal syariat yang namanya tabayyun dimana Islam
mengajarkan kita untuk cek dan ricek serta tidak grasa grusu bereaksi. We should respond and not react!
Fenomena ini juga menarik, kata Sarah, judgement itu juga bagian dari ‘decision making process’. Kalau pemahaman realitas kita nggak pas karena judgement kita yang grusa grusu maka cara kira merespon, menyikapi, dan menghakimi serta menghakimi sesuatu itupun akan keliru besar.
Kalau fakta ini hal yang sepele dan mubah (dibolehkan dalam Islam) maka nggak masalah, tapi kalau ini berkaitan dengan hal besar semacam seorang perempuan yang ingin menikah dengan seorang laki2 atau sebaliknya dan mereka hanya menggunakan ‘stroop effect’ ini maka kemungkinan besar pernikahan mereka tidak akan langgeng. Kesan pertama boleh menggoda tapi selanjutnya belum tentu bikin bahagia.
.
.
Konteks untuk kami para Parenting Coach saat itu adalah agar kita membuang bias itu sejauh jauhnya dan memberi kesempatan yang sama bagi semua peserta yang mengikuti parenting program yang kita suguhkan. Misalkan, menganggap peserta yang tidak aktif berbicara berarti tidak punya pendapat, menganggap peserta yang tidak fasih berbahasa Inggris tidak menguasai materi, dll.
.
.
Setelah tes psikologi masal selesai, kami di minta bertukar informasi dengan orang yang duduk di sebelah kita tentang tiga persamaan dari kami berdua. Kebetulan sebelahku adalah seorang wanita berkulit putih dari Inggris utara dengan aksen kentalnya. Sebut saja namanya Bianca (bukan nama asli). Dia yang memulai berbicara dan menyimpulkan bahwa kami sama sama seorang ibu, sama sama seorang coach, dan sama sama perempuan. Aku pun setuju dengan pilihannya (of course).
.
.
Berikutnya, kami di minta saling bertukar informasi tentang apa yang menjadi perbedaan dari kami berdua. Ini yang MENARIK. Meski agak berat dan sungkan bagi kami untuk membicarakannya, tapi ini bagian dari topik yang harus di diskusikan. Aku persilahkan Bianca memulainya terlebih dahulu. Jujur aku sangat tertarik ingin mendengar apa yang ada dalam benaknya.
Kata pertama yang dia sebut adalah, agama! (Perlu di catat bahwa obrolan tentang agama bukanlah obrolan umum, hal ini sangat privat dan jarang orang mau mendiskusikannya).
Dia bilang:"Aku roman Katolik, kamu muslim" (aku mengangguk)
Selanjutnya aku bilang:"kamu berambut pirang, aku berambut gelap, kamu seorang native, aku seorang imigran". Seperti kebiasaan orang Inggris yang terkenal sopan, dia pingin membuatku merasa nyaman dengan mengatakan: "aku dulu juga imigran di Spanyol"
Batinku berbicara: kayaknya orang Inggris di Spanyol tidak menyebut diri mereka
Imigran deh tapi mereka menyebut diri mereka EXPAT!. Imigran adalah label yang hanya di tempelkan oleh negara maju kepada para pendatang dari negara "miskin" atau negara "berkembang". Walaupun kenyataannya sama sama hijrah/ pindah tempat, tapi para pendatang dari negara maju tidak akan di sebut imigran, mereka di label dengan kata Expat. Lagi2 ini adalah asosiasi yang sengaja di tempelkan dari sebuah bahasa dengan realitas tertentu meskipun kenyataan yang terjadi sama tapi statusnya berbeda.
Rasa bahasa dari imigran dan expat TIDAKlah sama!
Anyway, giliran Bianca lagi untuk menyebut perbedaan antara aku dan dia, dan kalimat terakhirnya ini benar benar membuatku mengerutkan dahi dan bertanya tanya.
Bersambung...
#KisahDariInggris
#RevowriterMutiaraUmmat
#Muslim
#IslamDiInggris
Weesp, Belanda
21 Desember 2018
Comments