(Member Revowriter London)
.
Hari menjelang gelap. Aku, suami dan anak-anak berjalan pulang setelah seharian keluar. Kebetulan di depan stasiun Stratford ada ATM. Suami mau cek transaksi. Aku tunggu tak jauh darinya. Tiba tiba wanita tinggi, usia 30-an, berbaju rapi dan wangi mendekatiku.
.
"Hi, do you have a minute?" Tanya si perempuan cantik tadi.
.
"Sorry, I am actually rushing to go home, I am just waiting for my husband. There he is. Sorry I have to go" Jawabku sambil tergesa gesa.
.
"Oh never mind. Have a Good evening." sambil melambaikan tangannya yang menggenggam tumpukan brosur.
.
Aku punya feeling mereka adalah ‘da’i’ alias pendakwah dari penganut Kristen Jehovah Witness (JW). Bukannya menghindar, tapi kami memang harus mengejar maghrib.
.
Dari pengamatanku, penganut dan penyebar JW inilah yang masih aktif mengajak (baca:mendakwahi) orang orang untuk percaya kepada ajaran agama Kristen. Sebenarnya ini bukan pertama kali aku bertemu mereka. Pintu rumah kami sering di ketuk oleh mereka dan beberapa kali aku sempatkan untuk mengobrol dan mendengar langsung misi apa yang sebenarnya mereka bawa. Yang terjadi justru mereka lebih banyak menyetujui apa yang aku sampaikan. Mungkin mereka berusaha menemukan titik temu antara kami supaya obrolan terdengar enak dan tidak menghakimi atau menggurui. Satu hal yang patut di acungi jempol dari mereka adalah dedikasi menyebarkan kepercayaannya. Hujan badai mereka lalui. Kalau perlu bawa jas dan payung. Pagi dan malam mereka jalani. Mengetuk pintu rumah satu ke rumah yang lain. Seperti malam itu, gerimis dan angin kencang. Sang perempuan berdiri di pintu keluar stasiun underground Stratford bersama dengan temannya.
.
Usai di samperin perempuan tadi Nusaybah sempat bertanya, "who were they, Mama?"
.
Ketika aku jawab bahwa mereka adalah penyebar agama Kristen. Dia balik bertanya: "Apakah mereka berusaha membuatmu pindah ke agama Kristen? Bagaimana kalau nanti jika aku sudah besar, ada orang berusaha meyakinkanku untuk memeluk agama lain?"
.
Tentu saja emak dengan senang hati memulai. "Well...mereka yakin akan ajaran yang mereka sebarkan. Wajar kalau mereka ingin menyebarkannya. Kita yakin dengan kebenaran Islam, kita pun berkewajiban menyebarkannya. Orang kristen atau Hindu akan percaya agama merekalah yang paling benar. Kita pun yakin agama kita yang benar."
.
"So how do we know Islam is the truth and the correct one, Mama?"
.
Yup! Pertanyaan klasik dan jauh jauh hari sudah aku prediksi. Kebetulan minggu minggu ini, di sekolah anak anak ada international faith week. Anak-anak dari sekolah lain dan beragama non Islam datang dan mengenalkan agama mereka. Tujuannya adalah untuk membuka cakrawala peserta didik sekaligus menunjukkan bahwa meski berbeda, kita tetap bisa saling menghargai. Tak heran jika Nusaybah yang kini sudah berusia 10 tahun tertarik dengan falsafah tentang berbagai agama. Bahasan Aqidah adalah pertanyaan yang sering dia ajukan.
.
Aku melihat inilah tantangan baru menjadi ortu. Anak anak di papar dengan berbagai macam ide saat masih muda. Memang sih ada sisi positifnya, namun ada juga negatifnya. Satu sisi, mereka menjdi kritis, melek dan bisa menghasilkan keyakinan yang solid. Negatifnya, kalau ortu nggak siap dengan jawaban yang memadai, bisa bisa malah melahirkan keraguan akan kebenaran Islam.
.
Sistem pendidikan di Inggris mengajari peserta didiknya untuk menjadi free thinker. Ungkapan semacam: make sure you question everything, don’t just accept hearsay, do your research, think for yourself, seeing is believing, dll adalah mantra yang aku anggap ‘double-edged sword’. Kenapa? Karena bisa menguntungkan tapi juga bisa menyakitkan.
.
Berfikir, harus! Al Quran berulang kali mengajak kita berfikir dengan pertanyaan-pertanyaan yang memikat perhatian semacam
"Kenapa mereka tidak berfikir?"
"Kenapa mereka tiada mengetahui?"
"Kenapa mereka tiada mempergunakan akal," dan demikikanlah seterusnya…….!"
.
Di sisi yang lain, aqal manusia memiliki keterbatasan. Tidak semua pertanyaan mampu dijawab oleh aqal. Tidak semua pertanyaan layak dan perlu di jawab. Sayangnya ada orang ‘cerdas’ yang mengira bahwa apapun yang tidak dapat di jangkau atau di jawab oleh aqal maka hal tersebut tidak ada, tidak bisa di percaya dan tidak perlu di perhatikan.
.
Pertanyaan semacam Allah Maha Mendengar, bagaimana cara Dia mendengar? Melihat? Adalah pertanyaan yang tidak akan bisa dijawab dan kalaulah bisa dijawab, toh tidak akan berefek apapun.
.
Beda dengan pertanyaan, apa tujuan Allah ï·» menciptakan manusia? Kenapa manusia diberi pilihan? Mana yang masuk dalam lingkup pilihan? Kenapa ada perang jika Allah ï·» Maha Pengasih, dll akan dengan mudah bisa di jawab dan akan berefek pada menguatnya Aqidah kita.
.
Permasalahannya, sebagai ortu, sudahkah hal hal seperti ini kita pelajari? Bagaimana kita bisa membuktikan kepada anak anak kita secara obyektif akan kebenaran sebuah agama?
.
Apa yang kita suguhkan ke dalam benak mereka jika mereka bertanya tentang konsep dasar keimanan? Bagaimana membuktikan kebenaran Quran? Apakah benar Rasulullah Muhammad utusan Tuhan? Kenapa ada surga dan neraka? Dan lain sebagainya.
.
Sepertinya belajar dan terus belajar adalah kuncinya. Mencari ilmu Islam untuk menguatkan Iman. Bukan sekedar memenangkan pertarungan ide. Apalagi hanya untuk menajdi ajang pemuasan aqal (intellectual entertainment).
.
Ibaratkan keimanan kita sebagai sebuah pohon. Jika akarnya kuat maka pohon tadi juga kuat. Badai topan menghadang, siap di lawan. Kokoh berdiri tegak menjulang. Tak jarang daun dan rantingnya menjadi pengayom orang sekitar. Buahnya bermanfaat untuk khalayak ramai. Pohon yang sehat akan menghasilkan buah yang manis. Supaya akarnya kuat dan pohon tumbuh pesat, harus ada proses pemupukan, mengairi, menjaga, memangkas cabang dan ranting yang tidak bermanfaat. Proses ini tidak bisa dilakukan hanya untuk sesaat. Namun perlu waktu berhari hari, kesabaran dan Istiqomah dimulai dari pohon itu masih kecil hingga akhir hayat.
.
Pupuk tadi tidak lain adalah ilmu tentang Islam. Ilmu untuk diterapkan. Ilmu yang membantu kita kontemplasi dan terus berjuang memperbaiki diri. Kalaulah kita menjadi da’i, itupun karena Allah ï·» mewajibkan. Bukankah ilmu lebih berarti jika kita bagi.
.
London, Kamis 14 Desember 2019
#Renungan
#Revowriter
#NasehatDiri
#Islam
#KisahDariInggris
#GeMesda
Comments