"Tulisan ini untuk menyemarakkan #RevowriterWritingChallenge. Tulisan ini dibuat atas tantangan dari Wiwin Erwina dan aku akan menantang salah satu dari temanku untuk menulis di akhir tulisan ini."
*****************************
Percaya Diri
Oleh Yumna Umm Nusaybah
Member Revowriter London
.
Once upon the time...Di desa Antah Brantah. Lahir seorang anak perempuan dari seorang ibu yang bermimpi besar. Ibu yang masih grothal grathul membaca Al Quran. Bapak yang juga masih belajar. Sang ibu bermimpi besar supaya puterinya mampu mengkhatamkan tilawah Quran sebelum lulus SD. Sang ibu ingin puterinya jago berorasi bicara tentang agama. Sang ibu selalu ingin anaknya menjadi juara kelas. Sang ibu bermimpi puterinya menyabet juara di setiap lomba Musabaqah Tilawatil Quran. Mimpi yang sederhana. Namun untuk orang desa, mimpi ini sangat visioner.
.
Siapa sangka mimpi itu membawa berkah karena sang anak ditakdirkan menjadi guru ngaji di sebuah Madrasah di London. Mengajar tilawah, Hifd, bahasa Arab Basic hingga Islamic Studies.
.
Siapa sangka, dengan modal mimpi dan kerja keras tim beranggotakan Ibu, Bapak dan Paman, akhirnya jadi kenyataan.
.
Saat kelas 5 SD setiap ba’da Subuh, Asr dan Maghrib Bapak mengayuh sepeda dan membonceng aku dan saudara kembarku untuk berguru ke Pak Zulul. Beliau ustad muda di desaku. Penuh ketelatenan beliau mengajariku bagaimana membaca Quran dengan Tajwid dan menghafalkan surat Yasin. Di sela sela kesibukannya, pak Zulul masih sempat menulis teks pidato berlembar lembar (total ada 9 halaman). Tema utamanya adalah kenakalan remaja. Tugasku: menghafalkan seluruh isi teks sampai titik koma. Semua atas permintaan Ibundaku. Setiap ada hajatan di desa atau di kota lain, dengan dorongan ibu, Pak Zulul mengajukan kami menjadi salah satu ‘pembicara’. Desa demi desa, kota demi kota di Banyuwangi bahkan sampai ke kota Jember pun kami datangi. Mereka menyebut aku dan saudara kembarku sebagai Da’i kembar cilik. Berbagai hajatan seperti Isra’ Mi’raj dan Maulid Nabi tidak pernah sepi dari panggilan. Meski belum seratus persen ‘ngeh’ (baca: faham) dengan isi kajian yang kami berikan tapi kami sudah senang jika pemirsa riuh bertepuk tangan. Mungkin mereka lebih menikmati suara mungil dan lucunya aksi kami daripada mengerti dan menghayati isi kajian. Sesekali terselip kalimat berbahasa Inggris yang -percaya atau tidak-masih aku ingat hingga sekarang. Demikian bunyinya: Education is one of the most important element in the development of a country! Bagaimana nada bicara untuk bait itupun masih aku ingat dengan sangat jelas. Menunjukkan, betapa memori yang terukir saat kanak kanak seolah tertulis di atas batu. Tertancap kuat. Kuncinya adalah pengulangan. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, aku harus praktek membawakan isi teks pidato 9 lembar itu di dalam kamar. Tidak boleh keluar kamar sampai selesai ‘rehearsal’.
.
Inilah benih PeDe tampil di depan yang orang tuaku tanamkan sejak masa kanak kanak. Budaya lomba-lomba di Indonesia dimana anak anak ikut serta, memang bagus untuk memupuk benih PD mereka. Meski ada juga yang lebih setuju untuk menghindarkan anak anak dari stresor semacam keharusan mereka neng-handle rasa kecewa, kalah dan sakit hati lainnya.
.
Jika ditanya pernah nggak ndredeg tampil di depan? Ya jelas pernah. Tapi seperti kata pepatah Inggris: ‘Practice makes Perfect’. Semakin banyak praktek semakin terbiasa. Awalnya ndredeg tapi akhirnya nggak terpikir. Apakah suka tampil di depan? Biasa saja. Hampir hampir pertanyaan ini sama seperti pertanyaan apakah suka berjalan di trotoar sebelah kiri? Lah mau berjalan di sebelah kiri atau kanan rasanya tidak ada beda 🙂. Kalau berjalan dan mau aman ya di trotoar bukannya di tengah jalan karena itu bukan pilihan. Ketika tampil di depan itu sebuah kebutuhan bahkan kadang bagian dari kewajiban, suka tidak suka harus tetap dilakukan. Setelah mengenal Islam dan faham akan kewajiban menyampaikan (meski tidak harus selalu tampil di podium), justru pembiasaan kecil dari Ibu dan Pak Zulul membawa berkah. Semoga menjadi amal Jariyah bagi keduanya.
.
Setelah beranak pinak, paradigma tentang cara membangun PD ini akhirnya berubah (meski masih harus terus di perbaiki). PD anak tidak harus di bangun dengan ikut lomba atau memenangkan perlombaan #AkuSiapDiProtes. Tak jarang, lomba lomba ini lebih kepada testimoni pencapaian orang tua menggembleng anaknya. Wajar jika terkadang eforia orang tuanya jauh melebihi sang anak saat menang lomba. Menurutku, kemauan berpartisipasi dalam lomba saja sudah cukup menjadi testimoni keberhasilan ortu membangun PD dalam diri anaknya. Asal di barengi dengan pendidikan psikologi bagaimana sang anak harus mencounter eforia kemenangan dan sedih saat mengalami kekalahan, insyaAllah pelan tapi pasti akan mampu membangun karakter ‘resilience’ mereka.
.
Karakter inilah yang nanti di perlukan saat mereka dewasa. Saat mereka menjalani pahit, manis, getirnya di tolak lamarannya, di kecewakan temannya, gagal menembus sekolah impiannya, tidak lulus ujian PNS-nya, tidak tembus beasiswanya dan berbagai emosi sedih lainnya. Karakter ‘resilience’ ini oleh psikolog bernama Angela Lee Duckworth di sebut sebagai GRIT. Grit adalah kemampuan, ketahanan dan kesabaran seseorang untuk terus mencoba, tidak menyerah dan tidak tergoyahkan oleh kegagalan. Semakin kuat daya tahannya, semakin besar kemungkinan sukses di bidangnya.
.
“Bagaimana denganmu Umm Adam aku menantangmu untuk menuliskan tentang serba serbi mendidik anak atau tema bebas"
.
London, 5 Agustus 2019
#RevowriterWritingChallenge
#BeraniMenulisBeraniBerbagi
#Gemesda
#RWCDay2
Comments