"Tulisan ini untuk menyemarakkan #RevowriterWritingChallenge. Tulisan ini dibuat atas tantangan dari Mba Hesti Rahayu dan aku akan menantang salah satu dari temanku untuk menulis di akhir tulisan ini."
*****************************
Komunikasi dalam Rumah Tangga
Oleh Yumna Umm Nusaybah
Member Revowriter London
.
"Salam Sis...can I call you please? I really need your help."
.
Deg! Kalau ada SMS singkat, padat jenis beginian, ga tega banget menunda. Meski sedang repot biasanya aku tinggalkan semuanya. Ada urgensi dan kepanikan dalam kalimat tersebut dan feelingku biasanya terbukti benar. Demikian juga hari itu.
.
Aku langsung telpon dia. Sebut saja namanya Laila (bukan nama asli). Perkenalan kami cukup singkat. Dalam hitungan bulan Laila telah memberiku kepercayaan menjadi tempat curhat masalah rumah tangganya. Memang ini bukan kali pertama dia mengontak aku dengan nada yang hampir sama. Hari itu, dia menangis sejadi jadinya. Dia mempertimbangkan untuk lari dari rumah dan membawa anaknya yang masih berusia satu tahun. Padahal dia tidak punya keluarga satupun di Inggris. Seperti halnya aku, dia seorang imigran dari Pakistan yang pindah ke inggris karena di nikahi oleh laki laki berwarga negara Inggris. Laila berulang kali menyampaikan jika dia sudah mantap ingin meminta cerai dan menghilang dari keluarga. Laila mengaku bahwa suaminya telah membuatnya jatuh ke jurang depresi. Berkali kali dia berharap tidak bangun dari tidurnya. Seringkali, dia tidak punya tenaga merawat dirinya apalagi mengurus anaknya. Sedih aku mendengar kisahnya.
.
Setelah aku upayakan untuk menenangkan Laila, aku ajak dia bertatap muka. Tujuanku sekedar menguatkan sekaligus membantu mendudukkan dan memetakan masalah yang dia hadapi. Dari diskusi panjang kami, aku simpulkan bahwa komunikasi dan perbedaan persepsi lah yang menjadi biang keroknya.
.
Mereka sama sama menginginkan Islam sebagai standar namun kenyataannya budaya dan tradisi Pakistan justru sering menjadi acuan. Mereka sama sama ingin memainkan peran suami isteri seperti yang Allah ï·» gariskan, namun nyatanya campur tangan keluarga besar justru menjadi batu penghalang.
.
Pernikahan tidak hanya menyatukan dua jenis manusia, namun ia menyatukan dua keluarga, dua cara pandang, dua cita cita, dua kebisaan, dua budaya, dua rasa. Karenanya, jika ada ‘breakdown communication’ maka masalah yang sepele bisa menjadi bom waktu.
.
Bicara tentang komunikasi, ada 4 elemen yang mempengaruhinya:
1. Sender (pengirim)
2. Message (pesan yang ingin disampaikan)
3. Medium (cara/alat/media yang di gunakan - verbal atau non verbal)
4. Receiver (penerima pesan)
.
Suami bukanlah paranormal yang bisa membaca isi hati sang istri dan demikian juga sebaliknya. Jika suami bukan tipe yang ‘peka’, ya nggak ada salahnya si isteri menyampaikan keinginannya secara blak blak-an. Pesan yang disampaikan pun harus jelas. Kalau hanya frase "Kok kebangetan sih Mas, mosok nggak faham sama kemauan isteri sendiri?" Maka kemungkinan untuk salah paham pastilah besar, karena suami harus menebak nebak kemauan isteri. Jika salah tebak dianggap tidak perhatian. Jika benar, masih dianggap kebetulan 🙂 serba salah deh!
.
Yang lebih parah, jika isteri mengajukan pertanyaan ‘jebakan’ semacam: "Gimana mas? Aku sudah kelihatan langsing belum?" Maunya kaum perempuan sih dijawab :"Iya, sudah Dek!" Perkara kenyataannya masih banyak tumpukan lemak di sana sini, tak peduli. Kalau suami jawab : "Masih belum Dek, ayo lanjutkan dietnya" duh...piring terbang bakal mendarat 😂.
.
Kasihan memang kaum lelaki, di jawab jujur, dikira ngawur ...di jawab ga jujur, malah sewot.
.
Menyampaikan curhatan hati atau protes kepada suami/ isteri pun perlu dipikirkan caranya(bicara langsung kah atau lewat surat/SMS) dan waktunya. Jangan sampai saat isteri yang sedang nggak enak badan dan sedikit lengah dalam mengurus rumah, suami protes dengan ruang tamu yang berantakan atau makanan yang kurang garam. Demikian juga isteri, saat suami kelelahan mencari nafkah, jangan kemudian nerocos protes dengan uang belanja yang kurang.
.
Ada sebuah nasehat yang bagus dari seorang motivator bernama Jay Shetty. Berikut yang beliau sampaikan:
.
1. Mencintai itu bermakna tumbuh bersama. Menurutku, pasangan harus saling menyesuaikan seiring dengan perubahan kondisi dan bertambahnya kebutuhan. Jika pasangan belum memiliki anak, tentu dunia milik mereka berdua. Seiring bertambahnya anak dan tanggung jawab maka dibutuhkan pula adaptasi sikap dan pritotitas.
.
2. Hindari upaya merubah pasangan kita. Pasangan kita tidak harus menjadi sama persis seperti kita. Apalagi berharap mereka sesuai dengan imajinasi kita. Pasangan justru disatukan oleh perbedaan mereka. Perbedaan itulah yang nantinya membuat pasangan saling membantu, mengisi dan membangun karakter yang belum dimiliki.
.
3. Janganlah memilih seseorang karena orang tersebut membuat kita bahagia namun jadilah seseorang yang bisa membuat diri kita sendiri bahagia. Karena sesungguhnya pasangan kita tidak bertanggung jawab atas kebahagiaan kita. Kita sendirilah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan kita sendiri. Pernahkah kita melihat orang yang berlimpah harta, dikaruniai sekian banyak putera, keluarga kaya namun tetap tidak bahagia? Tentu pernah! Karena bahagia adalah ‘mindset’ yang hanya bisa di bentuk dan di latih oleh pemilik ‘mind’ itu sendiri.
.
4. Ketahuilah dan kenalilah kapan kita harus memimpin dan kapan kita harus memberi kesempatan pasangan kita untuk ‘memimpin’. Kapan kita harus taat dan diam mendengarkan dan kapan kita harus cekatan mengambil keputusan.
.
5. Setiap kali ada tantangan atau masalah, hindari pemikiran bahwa kita sedang melawan pasangan kita. Berfikir lah bahwa kami (aku dan pasangan) bersama sama sedang melawan (menghadapi) tantangan atau masalah tadi. Jadilah tim yang solid dan bahu membahu menyelesaikannya.
.
6. Usahakan kematangan spiritual kita ada di titik yang sama. Bagi seorang Muslim, sebisa mungkin pengetahuan agama dan proses hijrah suami isteri terjadi beriringan dan bersamaan. Jika demikian maka tidak perlu ada perceraian hanya karena isteri atau suami lebih islami.
.
Selanjutnya aku ingin menantang Zahra Jannah untuk menuliskan nasehat pernikahan yang paling berkesan selama ini.
London, 7 Agustus 2019
#RevowriterWritingChallenge
#BeraniMenulisBeraniBerbagi
#Gemesda
#RWCDay3
Comments