Hari ini, tiga tahun lalu persis.
Aku ingat betul, “tolong pulang ibu kritis”
Pagi itu aku bangun, sempat terdengar suamiku berbicara dengan orang ditelpon, aku tidak ngeh apa yang dibicarakan,” ahh aku tidak enak badan, semua sendi terasa nyeri”, keluhku dalam hati. Tidak lama begitu suamiku selesai berbicara, dia minta aku untuk cepat berkemas, untuk pergi ke bandara. Ada apa? tanyaku dalam hati. Walau dia cuma bisa berbahasa sepatah-patah, “aku barusan pesan tiket, dapat kabar dari adik kamu, ibumu kritis, pulanglah”
Aku langsung lari ke meja komputer, lihat email pagi itu, “Ibu Kritis”, begitu judul email dari adikku yang setia menunggu ibu di rumah sakit, ‘critical’ mungkin itu yang bisa suamiku tangkap. Tubuhku gemetar, langsung aku berkemas, kuambil baju ala kadarnya, yang penting bawa nappies untuk si kecil, pikirku.
Persis jam 2 siang aku berhambur keluar, untuk segera berangkat ke bandara. Tidak tahu saat itu bahwa ibu persis pulang ke Penciptanya, jam 8 malam waktu Jakarta.
Banyak doa yang kuingat dalam perjalananku ke Jakarta, memohon kepada Allah agar aku diberikan kesempatan untuk melihat ibuku, memohon maaf atas dosa yang pernah aku perbuat, tetapi walaupun Allah berkehendak lain aku memohon agar aku diberikan kesempatan untuk memandikan jenazah ibuku. Aku serahkan semua ini padaMu, karena Kau-lah yang berhak atas ini semua.
Aku teringat kembali 3 bulan lalu pulang ke Jakarta lihat ibu sudah dalam kondisi yang menurun, badan kurus, wajah pucat, putih.
“Aku pulang dulu, insya Allah kalau ada rejeki aku datang lagi” begitu kataku waktu mau pamit pulang sambil menggantikan baju ibu, ibu cuma bisa menangis, sambil mencium dan memelukku. Banyak sekali airmata saat itu, tidak pernah aku tahu itu hari terakhir aku lihat ibu. Kanker rahim yang Allah berikan pada ibu, hanya 11 bulan, pendek betul.
Teringang apa yang ibuku rasakan saat itu, “ah, sakit sekali ini, kalau kamu ingat waktu melahirkan anakmu, rasa sakit itu, tapi ini jauh lebih hebat” begitu terus katanya. “Jangan menyerah bu, itu pertanda Allah meleburkan dosa-dosa ibu” tambahku menghibur. “Aku sudah cukup hidup, anak sudah besar-besar, apalagi” keluhnya lagi.
Sudah tiga kali aku bolak-balik ke Jakarta selama hampir 9 bulan, semenjak ibu didiagnosa kanker rahim stadium 3B, bukan main, cepat sekali. Apa benar orang bilang, “cancer is a silent killer”
Ibuku orang hebat, tidaklah mudah membesarkan 9 anak dari seorang suami pegawai negeri yang punya idealisme tinggi, “bapak kamu itu orangnya keras, tetapi jujur, orang bilang bapak punya posisi basah, banyak kesempatan kalau memang bapak mau jadi kaya, tapi bapakmu tidak mau punya cara curang untuk cari rejeki” begitu kata ibuku.
“Biarlah aku pinjam uang sana-sini, yang penting anak-anak sekolah, bisa sampai ke perguruan tinggi, jangan seperti aku, tidak tamat sekolah, karena mesti bantu kakekmu di sawah” kata ibuku untuk selalu mengingatkan pada anak-anaknya pentingnya sekolah. Aku ingat sekali ibuku punya tulisan tangan yang sangat bagus, kakek bilang ibu murid yang pintar di sekolah.
Begitu aku sampai di Singapura, tak tahan rasanya untuk telpon ke Jakarta, mengabarkan bahwa aku akan sampai di Jakarta satu jam lagi, “telpon lagi nanti, kakakmu sedang di rumah sakit” begitu suara sepupu ibuku menjawab telponku.
“Ternyata Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk lihat ibu” pikirku dalam hati. Setengah jam kemudian, aku balik telpon k Jakarta, “Mas, aku ada di Singapura, apa kamu jemput aku nanti di Cengkareng, bagaimana ibu?” begitu aku dengar kakakku menjawab telpon.
“Ibu sudah tidak ada, ibu pergi tadi malam, pemakaman baru saja selesai, nanti aku jemput kamu di Cengkareng”
Innalillahi wa innaillaihi roji’un, dadaku terasa sesak, tak tahan, kududuk sambil kupangku anakku, “Ibu pergi, tak sempat ketemu aku dulu” tangisku dalam hati. Ingin rasanya aku berteriak kepada seluruh penumpang mengenai kabar ibuku ketika aku harus kembali ke pesawat untuk penerbangan Singapura-Jakarta.
“Aku sempat pamit ke ibu untuk pulang kerumah, airmata ibu keluar saat itu” begitu adikku bercerita setengah jam sebelum ibu pergi, mungkin malaikat maut sudah disamping ibu, tidak mungkin rasanya ibu berbicara bahwa ibu tidak akan mungkin lihat anak-anaknya lagi, pikirku dalam hati.
“3 hari sebelum ibu pergi, ibu bilang kepadaku ibu lihat banyak bintang di langit-langit di kamar rumah sakit” “Bagus sekali diatas”, begitu katanya padaku waktu aku sedang menunggunya, padahal itu hanya langit-langit saja, tambah adikku bercerita, ibu juga sudah memaafkan kita semua.
“Hampir seribu orang datang untuk melayat ibu”, kata bapakku. Tak terbayang rasanya rumah orangtuaku yang kecil, pasti sesak dipenuhi orang yang datang untuk melihat ibuku yang terakhir kalinya. “Kalau aku mati, belum tentu sebanyak itu orang akan datang melayatku” tambah bapak lagi.
Ibuku pergi pada usia belum mencapai 60 tahun, meninggalkan seorang suami dan 9 anak, juga termasuk kedua orangtuanya yang masih hidup saat itu.
Allahummagfir lahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu. Ya Allah, terimalah semua amal ibadah ibuku semasa hidupnya.
Rasa rindu ini tak pernah mau pergi.
Enfield, 25 Agustus, 2002-2005, mengenang seorang ibu yang penuh perjuangan dalam hidupku, surga adalah balasanmu.
dari seorang shahabat muslimah di London...thanks mba Di karena udah dijinkan mengopi..:)
Seneng...happy lega dan terharu...itulah yang aku rasakan ketika murid 'istimewaku' menyelesaikan Iqra jilid 6 minggu yang lalu...percaya atau nggak aku menitikkan airmata dan menangis sesenggukan dihadapan dia, ibu dan kakak perempuannya....yah...airmata bahagia karena dia yang setahun yang lalu tidak tahu sama sekali huruf hijaiyah kini bisa membaca Al Quran meski masih pelan dan terbata bata...tapi makhrojul hurufnya bagus, ghunnahnya ada, bacaan Mad-nya benar....dan aku bayangkan jika seterusnya dia membaca Quran dan mungkin mengajarkannya kepada orang lain maka inshaAllah akan banyak pahala berlipat ganda... Namanya Tasfiyah ...seorang gadis cilik bangladeshi berusia 6 tahun saat pertama kali aku bertemu dengannya....Ibunya sengaja mengundangku datang ke rumah nya karena memang tasfi tidak suka dan tidak mau pergi ke masjid kenapa? karena sangat melelahkan...bayangkan aja 2 jam di setiap hari sepulang sekolah, belum lagi belajar bersama dengan 30 orang murid didampingi 1 ...
Comments