Skip to main content

Dimana Dikau Kanda?

Kok belum datang juga, ya? Saya yakin, pertanyaan itu banyak melingkupi para akhwat yang resah menanti jodoh. Kenapa saya hanya menyebut para akhwat? Jelas. Karena dalam masyarakat kita masih ada pandangan bahwa akhwat hanya boleh menunggu dan ikhwan lah yang memulai. Jadi, kalau ikhwan merasa sudah siap untuk menikah atau sudah menemukan pasangan hidup yang diinginkannya, ia tinggal mengajukan proposal. Hasilnya bagaimana, itu tergantung nanti. Yang penting kan akhwatnya sudah tahu kalau ada ikhwan yang mau serius dengannya. Bagaimana dengan akhwat? Memang ada yang bilang kalau akhwat pun boleh mengajukan proposal duluan, tapi adakah akhwat berani yang mau? Mungkin ada, tapi hanya satu dalam seribu. Sangat jarang lah akhwat yang mau mengajukan proposal duluan. Harga diri, tentu menjadi pertimbangan. Karena memang sangat jarang akhwat yang seperti Khadijah, bukan? Kita lupakan saja soal itu. Sekarang yang menjadi soal adalah kenapa jodoh belum datang juga? Sewaktu saya masih di daerah dulu (di luar Jakarta), pikiran saya memang sangat naif. Saya pikir, seorang akhwat yang sudah lulus kuliah pasti akan langsung dilamar. Kenyataannya memang begitu. Banyak teman-teman dekat saya yang baru saja diwisuda sibuk mempertimbangkan lamaran yang datang. Ternyata tidak juga. Begitu saya kembali ke Jakarta, alangkah terkejutnya saya menemukan banyak akhwat yang sudah lama lulus dari kuliah, sudah bekerja dan sudah sangat siap menikah (dilihat dari umur) ternyata masih melajang. Tidak tanggung-tanggung usia mereka berkisar 28-30 tahun ke atas. Fenomena macam apa ini? Kalau di daerah, tentu saya akan sulit menemukan akhwat berusia di atas 28 masih melajang. Saya juga tidak tahu kenapa. Ada teman saya yang bilang bahwa Allah akan memberikan kita jodoh kalau Dia menilai kita sudah dewasa. Saya tidak tahu teman saya itu mendapatkan sumber dari mana. Tapi ada benarnya juga. Saya bertanya kepadanya, definisi dewasa yang seperti apa? Teman saya mengedikkan bahu. Ia juga tidak tahu. Hanya Allah yang tahu. Pokoknya kalau Allah menganggap kita sudah dewasa, dia akan mempertemukan kita dengan jodoh kita. Begitu. Hmm…lalu saya mengamati seorang akhwat yang saya lihat sangat dewasa. Dia kalem, lembut dan sabar menghadapi binaan. Sepertinya dia sangat-sangat dewasa. Tapi kok dia belum menikah juga ya? Padahal dia sudah sekitar lima tahunan lulus dari kuliah. Lalu, apa yang kurang darinya? Lagi-lagi hanya Allah yang tahu. Sekitar setahun kemudian baru saya tahu jawabnya. Akhwat itu akhirnya menikah, tapi pernikahannya ini sempat membuat kawan terdekatnya geleng-geleng kepala. Biasanya orang yang mau menikah itu (apalagi akhwat) dipusingkan oleh, apakah saya bisa menjadi istri yang baik? Apakah saya bisa patuh kepada suami?Apakah saya bisa menyenangkan suami? Apakah saya bisa menyelesaikan konflik dalam rumah tangga? Dan lain-lain. Tapi akhwat ini berbeda. Ia malah memusingkan segala pernak-pernik pernikahan yang harus berwarna biru, karena biru adalah warna kesukaannya. Saya jadi berpikir. Mungkin benar Allah baru memberinya jodoh sekarang. Lima tahun lalu, mungkin dia malah lebih tidak dewasa seperti sekarang. Allahu ‘alam. Satu contoh lain yang kembali membuat saya berpikir. Kali ini tentang seorang ikhwan yang sudah berumur di atas 30. Sudah seharusnya ia segera menikah, bukan? Dan biasanya orang yang sudah berusia di atas 30 tahun itu pemikirannya lebih matang sehingga tidak terlalu memikirkan hal-hal yang sepele dalam memilih calon pendamping. Tetapi ikhwan ini masih menyebutkan satu syarat sepele yang harus dipenuhi akhwat yang akan menjadi pendamping hidupnya. Akhwat itu harus berkulit putih! Berkulit putih? Tidak salah memang. Tapi apakah hanya akhwat yang berkulit putih saja yang cantik? Akhwat berkulit hitam pun banyak yang cantik. Dan jangan salah. Artis India itu kebanyakan berkulit hitam manis, Bung! So…what? Coba tanyakan kepada adik/keponakan/ siapa saja yang masih ABG di sekitar Anda. Seperti apa “pacar” yang diinginkannya? Mereka pasti akan menjawab: cakep (cantik), kaya, beken, pinter dan semua hal-hal duniawi lainnya. Bandingkan dengan Anda. Apakah Anda masih memakai standar itu dalam memilih pendamping? Berarti pikiran Anda masih seperti adik/keponakan/ orang-orang yang ada di sekitar Anda yang masih ABG, bukan? Memang tidak salahnya kita memilih pendamping hidup seperti standar di atas. Agama baik, tapi status, fisik dan keturunan juga harus baik, dong. But, kita juga harus menilai diri kita sendiri. Intinya: berpijak pada realita lah! Apakah kita memang secantik Aisyah sehingga kita berhak mendapatkan Muhammad? Kalau iya, okeylah. Kalau tidak? Maka kita hanya seperti anak-anak belasan tahun yang hidup di dunia mimpi. Kembalilah kepada niat: untuk apa kita menikah. Itu saja. Akhirnya, saya jadi tahu kenapa ikhwah (akhwat-ikhwan) di daerah lebih cepat menikah daripada di Jakarta. Karena memang ikhwah di daerah tidak begitu pemilih. Berkali-kali saya dihentakkan dengan berita seorang ikhwan yang melamar seorang akhwat yang berusia empat sampai lima tahun di atasnya. Padahal masih banyak akhwat yang lebih muda dan lebih cantik yang bisa ia pilih. Atau seorang akhwat yang rela menikah dengan seorang ikhwan yang belum berpenghasilan tetap. Pada akhirnya Allah jua yang mempermudah jalan mereka. Setelah menikah, bertubi-tubi tawaran bekerja datang kepada ikhwan yang telah menjadi suaminya itu. Subhanallah! Apa yang saya sebutkan di atas hanyalah contoh kasus. Saya yakin di Jakarta pun banyak ikhwah yang berpikir dewasa sehingga ia mudah mendapatkan pasangan hidup. Saya sudah menemukannya, tapi memang saya lebih banyak menemukan yang masih lajang pada usia di atas 25 tahun. Dan di daerah pun ada ikhwah yang belum juga menikah padahal usianya terus menanjak. Entah apakah karena ia belum dewasa atau karena hal lain. Tapi saya yakin, orang di daerah itu memang lebih dewasa karena pikiran mereka masih sederhana. Saya jadi ingin kembali ke daerah biar cepat dapat jodoh. Atau mungkin kita memang harus menjadi dewasa dulu agar cepat mendapatkan jodoh?

Comments

Popular posts from this blog

my Special Student

Seneng...happy lega dan terharu...itulah yang aku rasakan ketika murid 'istimewaku' menyelesaikan Iqra jilid 6 minggu yang lalu...percaya atau nggak aku menitikkan airmata dan menangis sesenggukan dihadapan dia, ibu dan kakak perempuannya....yah...airmata bahagia karena dia yang setahun yang lalu tidak tahu sama sekali huruf hijaiyah kini bisa membaca Al Quran meski masih pelan dan terbata bata...tapi makhrojul hurufnya bagus, ghunnahnya ada, bacaan Mad-nya benar....dan aku bayangkan jika seterusnya dia membaca Quran dan mungkin mengajarkannya kepada orang lain maka inshaAllah akan banyak pahala berlipat ganda... Namanya Tasfiyah ...seorang gadis cilik bangladeshi berusia 6 tahun saat pertama kali aku bertemu dengannya....Ibunya sengaja mengundangku datang ke rumah nya karena memang tasfi tidak suka dan tidak mau pergi ke masjid kenapa? karena sangat melelahkan...bayangkan aja 2 jam di setiap hari sepulang sekolah, belum lagi belajar bersama dengan 30 orang murid didampingi 1

Tuk Semua Ibu-Ibu

At 05 July, 2006 , Mother of Abdullaah said… Whaa kalo aku pribadi, emaknya sendiri musti banyak belajar.. kira2 kalo ngimpi punya anak hafidzah 'layak' gak ya :D At 05 July, 2006 , Inaya Salisya said… Wah subhanalloh ya.. Ina juga pengen mbak, tapi ga ada do it hehe... ummu Aqilla terharuuu...terharu biru...jadi semangat nyiapin anak jd hafidz nhafidzah. jazakillahkhoir, ukh! Atas dasar 3 komen diatas akhirnya aku tertarik untuk ngasih komentar tentang cita cita punya anak hazidz/hafidzah...dimanapun seorang ibu pasti ingin anak2nya menjadi anak yang sholeh dan sholehah...hanya mungkin gambaran masing2 ibu berbeda dan derajat kesholehan yang mereka gambarkan dan inginkan juga pasti berbeda satu sama lain.....namun terlepas dari itu semua, setiap ibu muslimah pasti sangat bahagia dan bangga jika punya anak2 yang bisa menjadi penghapal Quran alias hafidz...kenapa ? karena sekian banyak pahala yang bakal dapat diraih dari sang Ortu dan juga sang anak..hanya saja cita2 y

Kisah sedih seorang dokter

Al kisah ada seorang teman laki laki yang pernah bersekolah dengan suami waktu jaman SMP dan SMA. Sebut saja namanya Amr, Amr datang dari keluarga miskin bahkan bisa dibilang sangat miskin, dia dirawat oleh bibinya yang juga kekurangan. Tidak jarang Amr harus menahan lapar ketika berangkat sekolah. Namun semangatnya yang tinggi mengalahkan rasa laparnya....hari berganti hari, Amr melanjutkan sekolah ke SMP, disitulah Amr bertemu dengan suamiku, hampir tiap hari mereka berbagi makanan bersama, subhanAllah...meski demikian, bisa dibilang Amr sangat cerdas dan pekerja keras, hal ini terbukti dengan prestasi sekolah yang patut bibnya banggakan. Di SMP itu ada sekitar 12 kelas dan masing masing kelas ada sekitar 70 siswa.....diantara ratusan siswa Amr selalu menjadi juara 1, sampai sampai dia diberi kebolehan naik kelas berikutnya hanya dalam waktu 6 bulan, walhasil dalam setahun dia naik kelas 2 kali dan setiap naik kelas dia selalu menjadi TOP STUDENT! Ketika masuk SMA, hal yang sam