Skip to main content

Mendidik bukan melayani

Sebelumnya.... aku mau nanya: siapa yang setuju dengan pernyataan bahwa: pemuda pemudi di jaman NOW lebih terampil memakai snapchat dan instagram daripada mengerjakan pekerjaan rumah?


Kalau anda salah satu yang angkat tangan..... silahkan baca lanjutan tulisan ini.


Kalau anda tidak setuju... tetap lanjutkan baca ya... kali aja bisa memberi perspektif lain (maksa banget mode:ON)


Hidup tanpa pembantu di negeri barat adalah sangat umum. Seorang ibu layaknya multi-talented individual. Mulai dari ngosek kamar mandi, masak, belanja, antar jemput anak ke sekolah, ngajar matematika, bahasa Inggris, science, Quran, hapalan, muroja’ah, beresin rumah, nyuci baju, piring, dan se-abreg aktivitas lainnya harus di kerjakan sendiri. Adakalanya beberapa tugas di wakilkan ke bimbel atau guru ngaji (yang jelas jelas pakai uang dan kadang ga seimbang antara kuantitas dan kualitas yang diajarkan dengan jumlah yang dibayar- pengalaman pribadi nih), okelah.... kalaulah demikian tetap aja tanggung jawab untuk tahu perkembangan dan hasil usaha, tetap tugas sang ibu. 


Nah.... masalahnya ada ibu2 yang easy-going, ada ibu2 yang sedikit perfectionist dan ada ibu2 idealis dan ibu2 yang praktis. Kayaknya aku yang terakhir deh!!! 


Seringnya, aku lebih sreg menyelesaikan pekerjaan rumah tanpa bantuan anak2 karena cepat beres dan hasilnya seperti yang aku inginkan. Namun ternyata hal ini perlu aku ubah.


Anak2 butuh untuk di ajarkan tanggung jawab (tentu sesuai dengan usia mereka), mereka juga perlu belajar ada konsekuensi untuk setiap perbuatan. Kalau mau main, harus mau merapikan. Kalau selesai makan harus mau paling nggak naruh piring ke tempat cucian, untuk yang gedhe harus mulai terbiasa mencuci piringnya sendiri, baju kotor harus masuk laundry basket atau mesin cuci, numpahin susu atau air harus rela menge-pel (semampu mereka).


Itu hanya contoh kecil yang sebisa mungkin aku terapkan karena life skills adalah sebuah proses dan tidak bisa di dapat dari sekolah atau tiba2 saja. 


Aku yakin semua ibu pasti tahu pentingnya ini dan itu, namun kadang praktik dan pelaksanaannya yang sedikit sulit. Butuh banget konsistensi, dedikasi dan improvisasi.... (apa cobaaaa....sengaja puitis! Haha)


Di jaman baheula (alias jaman aku masih unyu2) anak2 membantu ortu ke sawah (ngarit istilah enggresnya), membantu nyeboki Adek, membantu jualan beras dan es lilin, membantu nyapu halaman rumah seluas samudra adalah hal BIASA dan sangat jauh dari LUAR BIASA bahkan kalau ada anak yang ga mau bantuin All The above.... maka mereka masuk kategori anak ga tahu di untung atau paling ngeri anak durhaka (aaaarrrgh hiperbol deh!) tapi sekarang, anak2 lebih suka keren kalau nge-mall, jalan2 ke taman sambil

Poto2 saat emaknya ngos2an ngepel teras.


Jadii..... kesimpulannya....meminta anak untuk membantu kita bukanlah membebani mereka, justru hal ini lah yang akan menjadi Bekal mereka untuk hidup mandiri dan bisa jadi kunci sukses untuk masa depan mereka.

Comments

Popular posts from this blog

my Special Student

Seneng...happy lega dan terharu...itulah yang aku rasakan ketika murid 'istimewaku' menyelesaikan Iqra jilid 6 minggu yang lalu...percaya atau nggak aku menitikkan airmata dan menangis sesenggukan dihadapan dia, ibu dan kakak perempuannya....yah...airmata bahagia karena dia yang setahun yang lalu tidak tahu sama sekali huruf hijaiyah kini bisa membaca Al Quran meski masih pelan dan terbata bata...tapi makhrojul hurufnya bagus, ghunnahnya ada, bacaan Mad-nya benar....dan aku bayangkan jika seterusnya dia membaca Quran dan mungkin mengajarkannya kepada orang lain maka inshaAllah akan banyak pahala berlipat ganda... Namanya Tasfiyah ...seorang gadis cilik bangladeshi berusia 6 tahun saat pertama kali aku bertemu dengannya....Ibunya sengaja mengundangku datang ke rumah nya karena memang tasfi tidak suka dan tidak mau pergi ke masjid kenapa? karena sangat melelahkan...bayangkan aja 2 jam di setiap hari sepulang sekolah, belum lagi belajar bersama dengan 30 orang murid didampingi 1

Tuk Semua Ibu-Ibu

At 05 July, 2006 , Mother of Abdullaah said… Whaa kalo aku pribadi, emaknya sendiri musti banyak belajar.. kira2 kalo ngimpi punya anak hafidzah 'layak' gak ya :D At 05 July, 2006 , Inaya Salisya said… Wah subhanalloh ya.. Ina juga pengen mbak, tapi ga ada do it hehe... ummu Aqilla terharuuu...terharu biru...jadi semangat nyiapin anak jd hafidz nhafidzah. jazakillahkhoir, ukh! Atas dasar 3 komen diatas akhirnya aku tertarik untuk ngasih komentar tentang cita cita punya anak hazidz/hafidzah...dimanapun seorang ibu pasti ingin anak2nya menjadi anak yang sholeh dan sholehah...hanya mungkin gambaran masing2 ibu berbeda dan derajat kesholehan yang mereka gambarkan dan inginkan juga pasti berbeda satu sama lain.....namun terlepas dari itu semua, setiap ibu muslimah pasti sangat bahagia dan bangga jika punya anak2 yang bisa menjadi penghapal Quran alias hafidz...kenapa ? karena sekian banyak pahala yang bakal dapat diraih dari sang Ortu dan juga sang anak..hanya saja cita2 y

Kisah sedih seorang dokter

Al kisah ada seorang teman laki laki yang pernah bersekolah dengan suami waktu jaman SMP dan SMA. Sebut saja namanya Amr, Amr datang dari keluarga miskin bahkan bisa dibilang sangat miskin, dia dirawat oleh bibinya yang juga kekurangan. Tidak jarang Amr harus menahan lapar ketika berangkat sekolah. Namun semangatnya yang tinggi mengalahkan rasa laparnya....hari berganti hari, Amr melanjutkan sekolah ke SMP, disitulah Amr bertemu dengan suamiku, hampir tiap hari mereka berbagi makanan bersama, subhanAllah...meski demikian, bisa dibilang Amr sangat cerdas dan pekerja keras, hal ini terbukti dengan prestasi sekolah yang patut bibnya banggakan. Di SMP itu ada sekitar 12 kelas dan masing masing kelas ada sekitar 70 siswa.....diantara ratusan siswa Amr selalu menjadi juara 1, sampai sampai dia diberi kebolehan naik kelas berikutnya hanya dalam waktu 6 bulan, walhasil dalam setahun dia naik kelas 2 kali dan setiap naik kelas dia selalu menjadi TOP STUDENT! Ketika masuk SMA, hal yang sam