Oleh: Yumna Umm Nusaybah
.
Pulang sekolah si sulung cerita...
.
Nusaybah: “Mama, do you know what is Gucci?”
.
Glodhak!!! Pertanyaan ini menyiratkan dua hal. Nusaybah menganggap si emak kagak ngarti atau dia pingin tahu apa itu Gucci.
.
Untuk sementara emak pasang aksi oon alias sok ga tahu demi mencari akar masalah (ciyah!!). Maklum sodara sodara, emak jarang banget bicara merek.
.
Me:”ermmm...what is Gucci?” (Apa tuh Gucci?)
.
Nusaybah:” hah?!! You don’t know Gucci, Mama?? That is an expensive brand” (hah, mosok ga tahu Gucci Mama? Itu loh merk yang harganya mahal)
.
Me:”Really?How do you know?” (Kok Tahu?)
.
Nusaybah:”My friend told me. R*** (nama temannya) screamed (out of excitement) when she saw Z*** has a Gucci keyring. R said it’s a very expensive brand. So all the girls were amazed by it.” (Temanku yang bilang. Si R menjerit saat melihat Z punya gantungan kunci Gucci. R bilang ini barang mahal. Semua temanku perempuan heran).
.
Me:”Aha...I see. That’s how the discussion started and how you found out about Gucci” (oh jadi begitu awalnya sampai kamu tahu tentang Gucci)
.
Lega juga tahu asal mula dunia per-Gucci-an ini di jelajah Nusaybah. Maklum, emak ndeso ini memang nggak banyak tahu tentang merek dan nggak pernah mempermasalahkan merk. Jadi dirumah kami, merek tidak pernah menjadi bahan diskusi.
.
Bukan anti merk, tapi pingin anak-anak nggak termakan merk atau terpapar tanpa ada konteks yang tepat. Beli ya beli tapi let’s not make it a big deal. Memang barang bermerek biasanya berkualitas. Fair juga menjadikannya sebagai alasan memilih barang bermerek. Tak bisa dipungkiri, anak anak atau pun kita akan dikelilingi teman atau orang yang makan merek. Wajar jika upaya untuk ‘tak tergoda’ akan menjadi tantangan tersendiri. Banyak yang pernah menyampaikan kepadaku, “Lah...Yum, aku juga nggak pernah bicara tentang merek, nggak tergila gila sama merek, tapi anak-anakku tahu banget sama berbagai merek mahal. Parahnya, mereka hanya mau beli barang bermerk. Gengsi mah kalau nggak bermerek”
.
Itulah kekuatan sebuah masyarakat yang di ayomi sebuah sistem yang senada. Kita diyakinkan bahwa merek itu penting. Bahwa penampilan, label baju, sepatu, jam tangan, dan lainnya harus jelas kentara. Sekuat apapun seorang individu atau sebuah keluarga, mereka tetap harus berjuang membendung arus kuat dari masyarakat yang memiliki standar pemikiran berbeda.
.
Tanpa sadar, bisa jadi kita menilai orang dari kacamata superfisial ini juga. Jika demikian, bukan lagi kesalahan masyarakat, tapi kesalahan juga ada pada diri kita. Jangan jangan Itulah cermin dari diri kita sendiri.
.
Maksude?Jadi begini, jika seseorang terobsesi dan sangat mengagungkan merek karena kesan ‘posh/berduit/papan atas/tajir/“ dan sebangsanya, maka saat ngelihat orang lain, kita akan ngecek merek tas, sepatu, baju, jam tangan lawan bicara (orang lain). Kalau seseorang terobsesi sama gigi rapinya, maka hal pertama yang dinilai dari orang lain adalah senyum Pepsodentnya. Kalau seseorang terobsesi dengan uang/gaji pasti nyari tahu kerjaan orang itu apa? Lalu di Google gajinya.
Karenanya saat mendidik anak kita, sebisa mungkin standar penilaian yang kita pakai adalah standar yang Allah ﷻ pakai.
.
Apa standar itu?
.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
.
Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.
.
Jadi...sebisa mungkin, teman dan orang yang kita puji di hadapan anak kita hanyalah mereka yang tunduk patuh pada syariat Islam. Mereka yang tahu cara membawa diri. Mereka yang berakhlak mulia. Mereka yang mengedepankan sifat rendah hati, empati, penyayang, dan lain sebagainya. Walhasil merk tidak pernah muncul dalam wacana penilaian.
.
Makanya aneh bin kaget juga mendengar si sulung tiba tiba membawa nama designer Gucci.
.
Akhirnya pembicaraan ini menjadi momentum bagus bagiku untuk mendiskusikan tentang
1. Dasar kita menilai sesuatu
2. Siapa yang menetapkan dasar tadi?
3. Apa itu baik dan buruk?
4. Apakah dasar kita menetapkan sesuatu berharga dan nggak?
5. Bolehkah kita iri dengan kenikmatan yang orang lain miliki?
6. Bagaimana menundukkan rasa iri itu jikalau ada?
7. Bolehkah kita pamer jika kita punya barang-barang bermerk?
8. Apa ciri ciri orang yang suka pamer?
9. Teman seperti apa yang Mustinya kita jadikan panutan dan teman setia?
Sayangnya, terlalu panjang jika harus menuliskan seluruh dialog kami sore itu.
.
سبحان الله
.
Membuatku teradar bahwa kadang Allah ﷻ ‘melempar’ sebuah momentum untuk mengajari kita. Dia sediakan sarana berupa anak untuk menjadi pengingat dan pengasah diri. Dia ingin menegur kita dan mengingatkan apa standar penilaian kita sebenarnya. Sudahkah kita melakukan tugas berat mengasuh anak anak ini sebaik baiknya.
London, 3 Oktober 2019
#KisahDariInggris
#Revowriter
Comments