Oleh: Yumna Umm Nusaybah
Selama 6 tahun terlibat dengan dunia sekolah (karena anak pertama masih kelas 4 SD) ada perbedaan yang sangat kentara antara pendidikan yang aku peroleh di Indonesia dan pendidikan dasar di London, Inggris.
Hal mendasar yang jelas berbeda dimana ini menentukan praktik keseharian di sekolah adalah "falsafah pendidikannya".
Sedangkan hal praktis yang jelas sangat berbeda diantaranya:
1. Tidak adanya kenaikan kelas di tiap jenjang pendidikan
2. Tidak adanya sistem ranking kelas
Di tiap tahun, minimal ada dua kali Parents Evening (istilah yang di pakai untuk pertemuan guru dengan wali murid). Pengalaman pertama kami adalah tahun 2015 saat si bungsu kelas reception (TK besar). Di pertemuan itu kami hanya di beri laporan observasi mereka terhadap Nusaybah, apa yang sudah di ajarkan, target di triwulan selanjutnya, dan support apa yang bisa aku berikan di rumah untuk menunjang proses belajar. Tidak ada berita si gendhuk ranking berapa. Lah wong memang tidak ada ujian ataupun tes. Pihak guru menunjukkan buku LKS yang di kerjakan di sekolah. Ada asessment harian yang fokus para perkembangan kosakata, menumbuhkan minat belajar dan rasa ingin tahu, belajar mengenal huruf dan angka sambil bermain. Berhubung sang emak masih bermental "lama" akhirnya tetap aja ngotot ingin tahu, si gendhuk masuk group pembelajaran yang mana. Setelah sedikit memaksa akhirnya mendapat jawaban juga. Duh...sedikit lega.
Di awal tahun ajaran, anak anak di persilahkan duduk sekehendak mereka. Guru lebih mementingkan familirisasi suasana kelas dan teman teman. Namun di pertengahan tahun ajaran mulai di kelompokkan berdasarkan kemampuan mereka. Itupun sebisa mungkin tanpa sepengetahuan si anak didik. Sang guru tidak ingin memunculkan perasaan bahwa anak-anak di meja biru lebih "cerdas" di banding anak-anak yang ada di meja merah. Filosofi ini sangat baru bagiku. Sedari kecil, aku di didik untuk berkompetisi. Saingan dengan teman sebangku! Kertas ujian di tutup sedemikian rupa supaya teman sebangku tidak menyontek. Bagaimanapun juga mereka adalah saingan berat untukku bisa menggondol juara. Saat rapot-an harus tertera tulisan ranking satu.
Beda dengan sekolahnya anak anak. Jangankan ranking, skor nilai saja tidak ada. Yang ada hanya: exceeding (melampau target), met (telah memenuhi target), not met (belum memenuhi target).
Progress pun tidak pernah di bandingkan dengan anak lain. Justru perbandingan di lakukan dengan pencapaian anak itu sendiri tiap triwulan. Contoh: jika triwulan pertama, anak ‘reception’ mampu membaca buku level 2 (padahal target kurikulum adalah level 1) maka triwulan berikutnya si anak harus mampu naik menjadi level 3 atau 4 (meskipun secara kurikulum mereka hanya perlu sampai level 2). Jadi progres ini di buat sesuai kemampuan anak dan tenggang waktu yang ada. Jadi setiap anak akan memiliki target yang berbeda (minimal harus memenuhi target kurikulum, lebih tidak masalah)
Dalam hati aku bertanya tanya, lah terus bagaimana aku bisa tahu kalau anakku termasuk yang cerdas atau biasa biasa aja?
Paradigmaku masih berkutat bahwa prestasi / keberhasilan mendidik anak di ukur dari hasil ujian yang berujung ranking.
Dari ranking itu aku tahu sejauh mana anak ku belajar dan mengerti dibanding teman teman sekelasnya.
Setelah aku pikir, ternyata justru ini lah pemikiran yang aneh.
1. Bagaimana mungkin kemampuan memahami anak di nilai dari ujian? Karena pemahaman sangat berbeda dengan kemampuan menghafal. Soal soal ujian yang disajikan sebagian besar berisi pertanyaan tentang apa yang bisa kita ingat dari materi yang pernah tersampaikan. Mungkin ada soal yang bertujuan untuk menguji pemahaman namun jawabannya akan menjadi subyektif. Penilaian pun akan semakin sulit karena jika anak memiliki pemahaman yang sedikit berbeda (tidak sama persis) apakah kemudian si anak yang tidak pintar? Apakah tidak mungkin kalau sang guru lah yang tidak mampu menjelaskan?
2. Mengapa si anak harus bersaing dengan teman sebayanya? Apalagi jika daya pemahaman mereka sejak awal sudah berbeda. Tidakkah lebih baik jika mereka bersaing dengan diri mereka sendiri? Dan itu bisa dinilai dari progress mereka dari hari ke hari.
3. Apa untungnya jika si anak tahu bahwa dia ada di ranking terendah? Akankah itu membuat mereka semakin semangat belajar? Atau justru membuat mereka semakin minder karena sekuat apapun berusaha, mereka tetap ada di ranking bawah.
4. Apakah yang selalu ranking satu akan termotivasi untuk belajar terus? atau justru menjerumuskan mereka belajar hanya untuk mengejar angka?
Tidakkah lebih baik jika
1. Si anak merasa bahwa mereka memiliki potensi yang bisa digali.
2. Si anak melihat bahwa belajar itu asyik dan menarik.
3. Pendidik fokus menumbuhkan minat belajar dan mengasah rasa ingin tahu anak? Aku pikir ini jauh lebih berharga dari mengumpulkan informasi, menghafal dan duduk di sebuah ujian.
Bagaimanapun juga, ujian adalah stresor. Menunggu hasil ujian, interview dan sejenisnya sudah bisa membuat orang dewasa deg deg-an. Apalagi untuk anak anak usia 5-9 tahun. Pasti mereka juga merasa resah, gundah, stres dan berdebar debar.
Meski demikian, memang ada kompetisi dan ujian yang sehat dan bermanfaat. Porsinya saja yang harus cocok dengan usia anak. Anak pun harus di persiapkan secara mental jikalau menang ataupun kalah.
Filosofi pembelajaran inilah yang diterapkan di Inggris. Belajar sambil bermain dengan benda yang bisa di pegang dan di indera (untuk usia balita - 6 tahun). Sedang 7-11 tahun (year 2-6) mereka mulai dengan duduk serius dan belajar hal hal yang sifatnya abstrak.
Apakah tidak ada ujian sama sekali? Ada ujian di year 2 (kelas 2 SD) yang di beri nama SATS. Ujian ini bukan untuk mengukur kemampuan anak tetapi lebih kepada performa sekolah.
Ujian selanjutnya ada di kelas 6. Hasil ujian ini pun tidak mempengaruhi pilihan sekolah. Semua anak di kelas 6 pasti lanjut ke kelas 7! Tidak ada yang tidak lulus.
Jadi ranking sekolah..perlukah? Untuk level sekolah dasar, aku pikir tidak perlu. Tidak ada anak yang dilahirkan dengan keinginan untuk bersaing. Rasa ingin bersaing muncul setelah ada rangsangan dari luar misal: adik baru, teman baru yang dianggap "ancaman" terdapat keberadaan mereka. Atau adanya aba-aba dari orang tua bahwa mereka harus ranking satu. Menang. Juara dan lain sebagainya!
Sedang sekolah favorit: perlukah ada?
Aku sendiri meyakini, sekolah favorit menjadi favorit itu tidak terjadi dalam waktu semalam. Butuh perjuangan bertahun tahun untuk sebuah sekolah akhirnya bisa menjadi sekolah favorit.
Secara pribadi, tidak perlu di hapus total. Cukup ada 1 sekolah favorit di setiap provinsi. Tak perlu zonasi, hanya perlu ujian masuk lokal (bukan nasional). Sama dengan konsep grammar school di Inggris. Selebihnya, setiap sekolah harus menerima peserta didik tanpa pilih kasih.
Namun seperti tulisanku sebelumnya, harus ada sosialisasi yang jelas, pembiayaan yang maksimal dan kurikulum yang benar benar mengubah cara pandang. Semuanya sepertinya sulit diwujudkan dengan pendidikan sekuler seperti sekarang. Karena pendidikan sekarang lebih fokus kepada pencapaian materi (uang). Semakin favorit sebuah sekolah, semakin terbuka peluang untuk menembus universitas ternama. Semakin besar pula peluang untuk mendapat pekerjaan yang layak (meski secara fakta tidak selalu demikian).
Padahal tingkat pendidikan tidak menentukan rezeqi seseorang. Bukti nyata ini bisa kita lihat dari Richard Branson dan Alan Sugar. Mereka adalah dua bilyuner ternama di Inggris. Tidak satupun dari mereka mencicipi bangku kuliah. Namun mereka berhasil membangun kerajaan bisnis yang omsetnya milyaran.
Demikian juga pendiri perusahaan ternama Apple Inc, Steve Jobs. Dia juga drop out dari Reed College, di Amerika.
Seandainya pendidikan sepadan dengan jumlah pendapatan, maka teori ini bisa dipatahkan dengan keberadaan ketiga orang di atas. Namun jika pendidikan sepadan dengan mempertajam dan menambah kekayaan intelektual, pembentukan karakter, penanaman etos kerja, kemampuan berfikir kritis, inovatif dan revolusioner maka tentu pendidikan akan menghasilkan pemikir dan kontributor hebat di masyarakat. Pertanyaannya: sudahkah sistem pendidikan kita demikian adanya?
London, 24 Juni 2019
#zonasi
#pendidikan
#catatandarilondon
#belajarmenulis
#opiniringan
#revowriter
Comments