Skip to main content

Mendidik Anak

TAFSIR AL-WA’IE Edisi 59 UST. ROKHMAT S. LABIB. MEI METODE MENDIDIK ANAK (TAFSIR QS LUQMAN [31]: 13) Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS LUQMAN [31]: 13) Ayat ini merupakan penggalan kisah tentang nasihat-nasihat Luqman kepada putranya. Karena ada kisah tersebut, surat ini dinamakan surat Luqman. Secara umum, surat Luqman termasuk surat Makiyyah.1 Seperti layaknya surat Makiyyah, surat ini lebih menitikberatkan pada tema-tema akidah, mengenai wahdâniyyah (keesaan Allah Swt.), kenabian, dan Hari Kebangkitan.2 Pada ayat ini Allah Swt. mengingatkan nasihat-nasihat bijak Luqman. Nasihat yang amat bernilai itu diawali dengan peringatan menjauhi perbuatan syirik. st1:*{behavior:url(#ieooui) } Tafsir Ayat Allah Swt. berfirman: Wa idz qâla luqmân li [i]bnih wahuwa ya’izhuh (Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya). Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa Luqman yang dimaksud dalam ayat ini. Sebagian mufassir menyatakan, ia adalah cicit Azar (bapak Nabi Ibrahim as). Sebagian lagi berpendapat, ia adalah keponakan Ayyub dari saudara perempuannya. Yang lainnya menyebutkan, ia adalah sepupu Ayyub dari bibinya.3 Adapun menurut Ibnu Katsir, ia adalah Luqman bin Anqa bin Sadun.4 Para mufassir juga berbeda pendapat tentang asal-usul, tempat tinggal, dan pekerjaannya. Tidak bisa dipastikan pendapat mana yang paling benar. Sebab, al-Quran tidak merinci siapa sesungguhnya Luqman yang dimaksud. Sebagai kitab yang berfungsi menjadi hudâ wa maw’izhah (petunjuk dan pelajaran) bagi manusia, penjelasan tentang hal itu tidak terlampau penting. Yang lebih penting justru pelajaran apa yang dapat dipetik dari kejadian itu. Di dalam al-Quran banyak kisah yang hanya diceritakan peristiwanya, tanpa dirinci waktu, tempat terjadinya, kronologi dan pelakunya; layaknya buku sejarah. Demikian pula dengan kisah Luqman dalam ayat ini. Al-Quran hanya memberitakan bahwa dia termasuk orang yang mendapat limpahan al-hikmah dari-Nya. Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya telah Kami telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah.” (QS Luqman [31]: 12). Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal.5 Menurut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik.6 Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian.7 Hikmah dari Allah Swt. bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam dîn dan akal.8 Pendapat agak berbeda dikemukakan Ikrimah, as-Sudi, dan asy-Sya’bi. Mereka menafsirkan al-hikmah sebagai kenabian. Karena itu, menurut mereka, Luqman adalah seorang nabi.9 Pendapat ini berbeda dengan jumhur ulama yang berpandangan bahwa dia seorang hamba yang salih, bukan nabi.10 Kendati bukan nabi, Luqman juga menempati derajat paling tinggi. Sebab, manusia yang derajatnya paling tinggi adalah orang yang kâmil fî nafsih wa mukmil li ghayrih, yakni orang yang dirinya telah sempurna sekaligus berusaha menyempurnakan orang lain. Kesempurnaan Luqman ditunjukkan dalam ayat sebelumnya, bahwa dia termasuk hamba Allah Swt. yang mendapat hikmah dari-Nya. Adapun upayanya untuk membuat orang lain menjadi sempurna terlihat pada nasihat-nasihat yang disampaikan kepada putranya.11 Dalam ayat itu disebutkan wa huwa ya‘izhuh. Kata ya‘izh berasal dari al-wa‘zh atau al-‘izhah yang berarti mengingatkan kebaikan dengan ungkapan halus yang bisa melunakkan hati.12 Karena itu, dalam mendidik anaknya, Luqman menempuh cara yang amat baik, yang bisa meluluhkan hati anaknya sehingga mau mengikuti nasihat-nasihat yang diberikan. “Yâ bunayya lâ tusyrik billâh (Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah). Luqman memanggil putranya menggunakan redaksi tasghîr: ya bunayya. Hal itu bukan untuk mengecilkan atau merendahkan, namun untuk menunjukan rasa cinta dan kasih sayang kepada anaknya.13 Dengan panggilan seperti itu, diharapkan nasihat yang disampaikan lebih mudah diterima. Nasihat pertama yang disampaikan kepada putranya itu adalah la tusyrik billâh (jangan mempersekutukan Allah). Mempersekutukan Allah adalah mengangkat selain Allah Swt. sebagai tandingan yang disetarakan atau disejajarkan dengan-Nya. Ketika Rasulullah saw. ditanya oleh salah seorang sahabatnya, Wail bin Abdullah ra., mengenai dosa apa yang paling besar, beliau menjawab: Syirik, yakni kamu menjadikan tandingan bagi Allah (HR an-Nasa’i). Larangan syirik ini berlaku abadi. Bahkan tidak seorang rasul pun yang diutus Allah Swt. kecuali menyampaikan larangan tersebut. (Lihat: QS az-Zumar [39]: 65). “Inna asy-syirk la zhulm ‘azhîm (Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar). Dalam nasihatnya, Luqman tidak saja melarang syirik, namun juga menjelaskan alasan dilarangnya perbuatan tersebut.14 Secara bahasa azh-zhulm (kezaliman) berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.15 Syirik disebut azh-zhulm karena menempatkan Pencipta setara dengan ciptaan-Nya, menyejajarkan Zat yang berhak disembah dengan yang tidak berhak disembah,16 atau melakukan penyembahan kepada makhluk yang tidak berhak disembah.17 Banyak ayat al-Quran yang menyebut perbuatan syirik sebagai azh-zhulm (Lihat, misalnya: QS al-An‘am [6]: 82). Selain kezaliman besar, dalam ayat lain, syirik juga disebut sebagai kesesatan yang nyata (QS. Saba’ [34]: 24) dan amat jauh (QS. an-Nisa’ [4]: 116). Karena itu, wajar jika syirik dinilai sebagai dosa terbesar dan tidak ada dosa yang melebihinya. Jika dosa-dosa lain, manusia masih bisa berharap mendapat ampunan dari Allah Swt., tidak demikian dengan syirik. Siapa pun yang telah melakukan perbuatan syirik, dan tidak bertobat, lalu meninggal dalam kesyirikan, maka tidak akan diampuni Allah Swt. (QS an-Nisa’ [4]: 48, 116). Lebih dari itu, syirik akan menyebabkan terhapusnya semua amal yang dikerjakan manusia (QS az-Zumar [39]: 65). Pelakunya diharamkan masuk surga (QS al-Maidah [5]: 72), sebaiknya ia kekal di dalam neraka (QS al-Bayyinah [98]: 6). Oleh karenanya, syirik menyebabkan penyesalan yang tak terbayarkan bagi pelakunya (QS al-Kahfi [18]: 42). Meneladani Nasihat Luqman Orangtua yang bijak pasti menginginkan anak yang dicintainya tumbuh menjadi manusia salih dan beroleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Keinginan itu tentu harus disertai dengan upaya untuk mewujudkannya. Dalam hal ini, Luqman bisa dijadikan sebagai teladan. Nasihat-nasihat yang diberikan kepada anaknya, jika dikerjakan, bisa mengantarkan anaknya meraih keinginan mulia tersebut. Secara keseluruhan, ada dua perkara penting yang dinasihatkan Luqman kepada putranya. Pertama, menyangkut persoalan akidah. Luqman menasihati putranya agar tidak mempersekutukan Allah Swt. (ayat 13). Ia pun mengingatkan anaknya bahwa Allah Swt. Yang Mahatahu atas segala sesuatu, di langit maupun di bumi, akan membalas semua amal perbuatan manusia, seberat apa pun amal perbuatan itu (ayat 16). Kedua, berkenaan dengan pelaksanaan amal yang menjadi konsekuensi tauhid, baik menyangkut hubungan manusia dengan Al-Khâliq, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesama manusia. Pada ayat 17, Luqman memerintahkan anaknya untuk mendirikan shalat (hubungan manusia dengan Al-Khâliq), melakukan amar makruf nahi mungkar (hubungan manusia dengan sesamanya), dan meneguhkan sifat sabar dalam jiwanya (hubungan manusia dengan dirinya sendiri). Luqman juga mengingatkan anaknya untuk menjauhi larangan-larangan Allah Swt. Sifat sombong dan perilaku angkuh adalah di antara perbuatan yang harus dijauhi (ayat 18). Sebaliknya, sifat yang harus dilekatkan adalah menyederhanakan langkah dan melunakkan suara (ayat 18). Dapat disimpulkan, semua nasihat Luqman itu berorientasi pada keselamatan dîn anaknya. Ia menginginkan anaknya menjadi manusia yang taat kepada Tuhannya dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan jalan itu kebahagiaan dunia dan akhirat dapat diraih. Jika diperhatikan kisah-kisah dalam al-Quran, hal yang sama juga dilakukan para nabi dan rasul. Mereka semua amat menginginkan anaknya menjadi orang yang berpegang teguh kepada dîn yang haq, seperti yang dikabarkan Allah Swt: Ibrahim mewasiatkan ucapan kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), “Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian. Karena itu, janganlah kalian mati kecuali memeluk agama ini. (QS al-Baqarah [2]: 132). Patut dicatat urutan perkara yang dinasihatkan Luqman. Pertama kali yang ia nasihatkan adalah perkara akidah. Ia menginginkan anaknya lurus akidahnya. Setelah itu, baru menyangkut perkara amaliah. Pilihan ini tentu bukan suatu kebetulan. Sebab, dari berbagai sisi, akidah memang harus didahulukan. Akidah merupakan penentu status manusia, tergolong sebagai orang Mukmin atau kafir. Orang yang meyakini akidah yang haq, yang berasal dari Allah Swt., adalah orang Mukmin. Sebaliknya, orang yang mengingkari akidah tersebut tergolong sebagai orang kafir. Pada gilirannya, perbedaan status ini akan menentukan nasib mereka, memperoleh bahagia atau mendapat celaka. Di akhirat kelak, orang-orang kafir akan menjadi penghuni neraka (QS al-Bayyinah [98]: 6), sebaliknya orang-orang Mukmin dan beramal salih akan menjadi penduduk surga (QS al-Bayyinah [98]: 8). Keyakinan pada akidah yang benar juga menjadi syarat diterimanya amal. Allah Swt. hanya menerima amal yang dikerjakan orang-orang Mukmin. Sebaliknya, amal perbuatan orang-orang kafir sama sekali tidak dinilai pada Hari Kiamat kelak (QS al-Kahfi [18]: 105). Semua amalnya pun terhapus dan sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat (QS al-Baqarah [2]: 217; QS at-Taubah [9]: 69), dan laksana debu yang diterbangkan (QS al-Furqan [25]: 23). Itu berarti, perbaikan amal perbuatan tanpa didahului dengan penerimaan pada akidah yang benar tidak akan berguna. Selain itu, perbuatan manusia juga sangat ditentukan akidahnya. Orang yang meyakini akidah Islam akan terikat dengan syariah. Sebaliknya, orang yang mengingkari akidah Islam dipastikan akan mengabaikan ketetapan syariah. Oleh karenanya, siapa pun yang hendak memperbaiki perilaku seseorang (ishlâh al-a’mâl), harus meluruskan akidahnya (tashhih al-‘aqîdah) terlebih dahulu. Jika dicermati dalam al-Quran, para nabi dan rasul juga melakukan hal yang sama. Mereka mendahulukan seruan akidah sebelum lainnya. Demikian juga dengan Rasulullah saw. Yang pertama kali beliau dakwahkan ke tengah masyarakat Jahiliah adalah perkara akidah. Ayat-ayat yang turun di awal dakwahnya juga menekankan pada akidah. Adapun ayat-ayat tentang hukum kebanyakan turun di Madinah, pada saat akidah umat sudah benar-benar mapan. Rasulullah saw. juga memerintahkan para sahabatnya untuk menyerukan kepada akidah terlebih dulu sebelum menjelaskan ketetapan hukum. Ketika beliau mengutus Muadz bin Jabal ra. ke Yaman yang mayoritas penduduknya Ahlul Kitab, beliau memerintakan agar perkara pertama yang didakwahkan kepada mereka adalah mengesakan Allah Swt., baru setelah itu dijelaskan tentang kewajiban mendirikan shalat lima waktu dalam sehari semalam serta membayar zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Abu Dawud). Dalam pendidikan anak, Rasulullah saw. telah memerintahkan para orangtua untuk menekankan pendidikan akidah. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Ajarkan kalimat Lâ ilaha illâ Allâh kepada anak-anak kalian sebagai kalimat pertama. (HR al-Hakim). Abd ar-Razaq meriwayatkan bahwa para sahabat menyukai untuk mengajari anak-anak mereka kalimat Lâ ilaha illâ Allâh sebagai kalimat yang pertama kali bisa mereka ucapkan secara fasih sampai tujuh kali sehingga kalimat itu menjadi yang pertama-tama mereka ucapkan.18 Demikianlah teladan dari orang-orang bijak dalam mendidik anaknya. Anda juga menginginkan anak Anda meraih bahagia dan surga? Ikutilah jejak mereka! Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.  Catatan kaki: 1 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, IV/233, Dar al-Fikr, Beirut. 1983. 2 Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, II/446, Dar al-Fikr, Beirut. 1996. 3 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, III/421, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993. 4 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/1446, Dar al-Fikr, Beirut. 2000. 5 Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, II/451. 6 Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XI/82, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993. 7 Aath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, xi/208, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1992. 8 Abd al-Haqq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, IV/347, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/41, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993. 9 Abu al-Hasan al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, III/442, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994; Abu ‘Ali al-Fadhl, Majma’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, III/491, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994. 10 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/ 1445; AbuThayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, X/281, Idarat Ihya’ al-Turats al-Islami, Qathar. 1989 11 Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, III/398, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995 12 Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XI/143, Dar al-Fikr, Beirut. 1991. ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 564, Dar al-Fikr, Beirut., tt. 13 Shihab al-Din al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, xi/84; Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XI/143. 14 Burhan al-Din al-Baqa’i, Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-آyât wa as-Suwar, VI/13, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995. 15 Mahmud Hijazi, at-Tafsîr al-Wâdhîh, III/47, an-Nashir, 1992. 16 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, III/398. 17 Fakhr ad-Din al-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, XIII/128, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990. 18 Muhammad Suwaid, Mendidik Anak bersama Nabi, terj. Salafudin A. Sayyid, hlm. 133, Pustaka Arafah, Solo. 2003

Comments

Anonymous said…
A

Popular posts from this blog

my Special Student

Seneng...happy lega dan terharu...itulah yang aku rasakan ketika murid 'istimewaku' menyelesaikan Iqra jilid 6 minggu yang lalu...percaya atau nggak aku menitikkan airmata dan menangis sesenggukan dihadapan dia, ibu dan kakak perempuannya....yah...airmata bahagia karena dia yang setahun yang lalu tidak tahu sama sekali huruf hijaiyah kini bisa membaca Al Quran meski masih pelan dan terbata bata...tapi makhrojul hurufnya bagus, ghunnahnya ada, bacaan Mad-nya benar....dan aku bayangkan jika seterusnya dia membaca Quran dan mungkin mengajarkannya kepada orang lain maka inshaAllah akan banyak pahala berlipat ganda... Namanya Tasfiyah ...seorang gadis cilik bangladeshi berusia 6 tahun saat pertama kali aku bertemu dengannya....Ibunya sengaja mengundangku datang ke rumah nya karena memang tasfi tidak suka dan tidak mau pergi ke masjid kenapa? karena sangat melelahkan...bayangkan aja 2 jam di setiap hari sepulang sekolah, belum lagi belajar bersama dengan 30 orang murid didampingi 1

Tuk Semua Ibu-Ibu

At 05 July, 2006 , Mother of Abdullaah said… Whaa kalo aku pribadi, emaknya sendiri musti banyak belajar.. kira2 kalo ngimpi punya anak hafidzah 'layak' gak ya :D At 05 July, 2006 , Inaya Salisya said… Wah subhanalloh ya.. Ina juga pengen mbak, tapi ga ada do it hehe... ummu Aqilla terharuuu...terharu biru...jadi semangat nyiapin anak jd hafidz nhafidzah. jazakillahkhoir, ukh! Atas dasar 3 komen diatas akhirnya aku tertarik untuk ngasih komentar tentang cita cita punya anak hazidz/hafidzah...dimanapun seorang ibu pasti ingin anak2nya menjadi anak yang sholeh dan sholehah...hanya mungkin gambaran masing2 ibu berbeda dan derajat kesholehan yang mereka gambarkan dan inginkan juga pasti berbeda satu sama lain.....namun terlepas dari itu semua, setiap ibu muslimah pasti sangat bahagia dan bangga jika punya anak2 yang bisa menjadi penghapal Quran alias hafidz...kenapa ? karena sekian banyak pahala yang bakal dapat diraih dari sang Ortu dan juga sang anak..hanya saja cita2 y

Kisah sedih seorang dokter

Al kisah ada seorang teman laki laki yang pernah bersekolah dengan suami waktu jaman SMP dan SMA. Sebut saja namanya Amr, Amr datang dari keluarga miskin bahkan bisa dibilang sangat miskin, dia dirawat oleh bibinya yang juga kekurangan. Tidak jarang Amr harus menahan lapar ketika berangkat sekolah. Namun semangatnya yang tinggi mengalahkan rasa laparnya....hari berganti hari, Amr melanjutkan sekolah ke SMP, disitulah Amr bertemu dengan suamiku, hampir tiap hari mereka berbagi makanan bersama, subhanAllah...meski demikian, bisa dibilang Amr sangat cerdas dan pekerja keras, hal ini terbukti dengan prestasi sekolah yang patut bibnya banggakan. Di SMP itu ada sekitar 12 kelas dan masing masing kelas ada sekitar 70 siswa.....diantara ratusan siswa Amr selalu menjadi juara 1, sampai sampai dia diberi kebolehan naik kelas berikutnya hanya dalam waktu 6 bulan, walhasil dalam setahun dia naik kelas 2 kali dan setiap naik kelas dia selalu menjadi TOP STUDENT! Ketika masuk SMA, hal yang sam