Skip to main content

Ingin Menikah???

Bukan Sekedar Keinginan eramuslim - Akhir-akhir ini banyak dari sahabatku yang bertanya tentang rencana pernikahanku. Pertanyaan seperti "Jadi kapan nih, mau nyebar undangan?" dan sejenisnya, terus melandaku melalui telepon, SMS, layar-layar messenger di komputerku, bahkan pertemuan-pertemuan kami rasanya tidak lengkap tanpa mereka menanyakan hal itu. Tadinya aku hanya diam dan tersenyum menjawabnya. Aku berpikir, "Sudahlah, nanti juga mereka bosan sendiri." Toh, kalau memang waktunya sudah sampai, kabar bahagia itu pasti tidak akan aku simpan. Bosan juga sebenarnya untuk membahas masalah ini. Kata seorang sahabat, pernikahan itu bukan untuk didiskusikan, tapi untuk diamalkan. Tapi, jika diskusi itu dalam rangka mempersiapkan diri, mungkin tidak ada salahnya ya? Menikah, siapa sih yang tidak ingin? Sebagai seorang manusia yang mempunyai kebutuhan psikologis dan biologis, wajar rasanya jika kita menginginkannya. Mereka bilang, menikah itu membuat jiwa menjadi tenang, dan pikiran lebih terarah. Apalagi Baginda Rasulullah SAW mengatakan bahwa menikah merupakan sunnah beliau, yang mana sunnah ini akan menggenapkan separuh dari agama kita. Bahkan Rasulullah SAW menjamin bahwa seseorang yang ingin menikah untuk menjaga kehormatannya, termasuk dalam 3 golongan yang Allah wajib untuk menolongnya. Tidakkah sebagai seorang muslim yang baik, janji Rasul ini sangat menggiurkan? Hmm.. Cinta, tema yang sangat mendunia. Setiap orang pasti pernah mencintai dan dicintai. Cinta kepada orang tua, suami, istri, saudara, anak-anak, sahabat, guru, dan masih panjang lagi daftar nama orang-orang tercinta kita. Ya, cinta itu memang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Sabda Rasulullah SAW: "Allah memiliki 100 bagian Rahman (kasih), yang satu bagian disebarkannya ke seluruh dunia sehingga seekor kuda mengangkat kakinya karena takut menginjak anaknya yang baru lahir ..." Pernikahan adalah satu-satunya cara yang dihalalkan dalam Islam bagi seorang perempuan dan laki-laki non muhrim untuk menjalin cinta dan kasih. Tapi menikah itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia adalah proses yang mudah tanpa harus dimudah-mudahkan, sekaligus merupakan suatu proses yang sulit tanpa harus dibuat rumit. Saat seorang laki-laki menyambut pernyataan menikahkan dari seorang wali perempuan dalam ijab kabul pernikahan, saat itulah dimensi baru bagi keduanya dimulai. Seorang perempuan dalam sekejap mempunyai predikat baru sebagai seorang istri, dan seorang laki-laki akan berubah status menjadi seorang suami. Status baru yang mungkin belum terbayangkan sama sekali bagi mereka. Status yang dibelakangnya mengekor beribu konsekuensi yang baru juga. Ketika kita memutuskan untuk menikah, seharusnya kita telah bersepakat untuk mempertemukan tidak hanya seorang laki-laki dan perempuan, tapi juga dua pemikiran, dua sudut pandang, dua karakteristik, dua kebiasaan, tak lupa juga bahwa kita telah menikahkan dua keluarga besar dan dua kebudayaan. Ibarat sebuah pepatah: Lain ladang, lain belalang. Perbedaan itu pasti akan ada. Maka siap menikah berarti kita siap untuk menerima perbedaan. Perbedaan itu adalah suatu sunnatullah, lalu kenapa kita harus takut untuk berbeda? Sekali lagi, menikah adalah kesiapan untuk menerima perbedaan, kemauan untuk berubah, keinginan untuk mengenal lebih jauh, kesiapan untuk menerima pasangan kita apa adanya dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi mengedepankan kepentingan dan kebutuhan bersama. Bukan sekedar keinginan, menikah membutuhkan persiapan yang tidak mudah. Bahkan, ketika pernikahan itu sudah terlaksana pun, proses pembelajaran itu harus tetap kita lakukan. Ada suatu perbedaan besar yang harus kita sadari antara penggunaan kata 'ingin' dan 'siap'. Suatu keinginan yang tidak diikuti oleh proses mempersiapkan diri, ia hanya akan berakhir sebagai suatu mimpi kosong di siang bolong. Sementara, parameter kesiapan setiap orang hanya dirinya dan Allah saja yang tahu. Pun ketika kita melihat seorang laki-laki atau perempuan yang kita anggap cukup siap untuk menikah, ketika keinginan itu tidak tumbuh dalam diri mereka, maka pernikahan itu akan sulit untuk terealisasi. Tentunya, tanpa menafikkan bahwa semua itu berada dalam wilayah kekuasaan Allah. Yaitu untuk menentukan kapan kita akan menikah, di mana, dengan siapa, dan dalam kondisi seperti apa, hanya Allah yang mampu menjawab itu semua... Ya, semoga pernikahan bukan hanya menjadi keinginan kita belaka, tapi merupakan sesuatu yang kita upayakan dapat terlaksana dalam koridor syari'at-Nya.

Comments

Popular posts from this blog

my Special Student

Seneng...happy lega dan terharu...itulah yang aku rasakan ketika murid 'istimewaku' menyelesaikan Iqra jilid 6 minggu yang lalu...percaya atau nggak aku menitikkan airmata dan menangis sesenggukan dihadapan dia, ibu dan kakak perempuannya....yah...airmata bahagia karena dia yang setahun yang lalu tidak tahu sama sekali huruf hijaiyah kini bisa membaca Al Quran meski masih pelan dan terbata bata...tapi makhrojul hurufnya bagus, ghunnahnya ada, bacaan Mad-nya benar....dan aku bayangkan jika seterusnya dia membaca Quran dan mungkin mengajarkannya kepada orang lain maka inshaAllah akan banyak pahala berlipat ganda... Namanya Tasfiyah ...seorang gadis cilik bangladeshi berusia 6 tahun saat pertama kali aku bertemu dengannya....Ibunya sengaja mengundangku datang ke rumah nya karena memang tasfi tidak suka dan tidak mau pergi ke masjid kenapa? karena sangat melelahkan...bayangkan aja 2 jam di setiap hari sepulang sekolah, belum lagi belajar bersama dengan 30 orang murid didampingi 1

Tuk Semua Ibu-Ibu

At 05 July, 2006 , Mother of Abdullaah said… Whaa kalo aku pribadi, emaknya sendiri musti banyak belajar.. kira2 kalo ngimpi punya anak hafidzah 'layak' gak ya :D At 05 July, 2006 , Inaya Salisya said… Wah subhanalloh ya.. Ina juga pengen mbak, tapi ga ada do it hehe... ummu Aqilla terharuuu...terharu biru...jadi semangat nyiapin anak jd hafidz nhafidzah. jazakillahkhoir, ukh! Atas dasar 3 komen diatas akhirnya aku tertarik untuk ngasih komentar tentang cita cita punya anak hazidz/hafidzah...dimanapun seorang ibu pasti ingin anak2nya menjadi anak yang sholeh dan sholehah...hanya mungkin gambaran masing2 ibu berbeda dan derajat kesholehan yang mereka gambarkan dan inginkan juga pasti berbeda satu sama lain.....namun terlepas dari itu semua, setiap ibu muslimah pasti sangat bahagia dan bangga jika punya anak2 yang bisa menjadi penghapal Quran alias hafidz...kenapa ? karena sekian banyak pahala yang bakal dapat diraih dari sang Ortu dan juga sang anak..hanya saja cita2 y

Kisah sedih seorang dokter

Al kisah ada seorang teman laki laki yang pernah bersekolah dengan suami waktu jaman SMP dan SMA. Sebut saja namanya Amr, Amr datang dari keluarga miskin bahkan bisa dibilang sangat miskin, dia dirawat oleh bibinya yang juga kekurangan. Tidak jarang Amr harus menahan lapar ketika berangkat sekolah. Namun semangatnya yang tinggi mengalahkan rasa laparnya....hari berganti hari, Amr melanjutkan sekolah ke SMP, disitulah Amr bertemu dengan suamiku, hampir tiap hari mereka berbagi makanan bersama, subhanAllah...meski demikian, bisa dibilang Amr sangat cerdas dan pekerja keras, hal ini terbukti dengan prestasi sekolah yang patut bibnya banggakan. Di SMP itu ada sekitar 12 kelas dan masing masing kelas ada sekitar 70 siswa.....diantara ratusan siswa Amr selalu menjadi juara 1, sampai sampai dia diberi kebolehan naik kelas berikutnya hanya dalam waktu 6 bulan, walhasil dalam setahun dia naik kelas 2 kali dan setiap naik kelas dia selalu menjadi TOP STUDENT! Ketika masuk SMA, hal yang sam